Minggu, 08 Januari 2012

ZINA GHAIRU MUHSAN


BAB II
PEMBAHASAN
HUKUM PENZINA GHAIRU MUHSAN

A) HADITS MENGENAI HUKUM PENZINA GHAIRU MUHSAN
ﺤﺩﺜﻨﺎﻤﺤﻤﺩﺑﻦﺤﺩﺜﻨﺍﺑﻦﺑﻴﻨﺔﻋﺍﻠﻱﻋﻴﺩﷲﺑﻦﺩﷲﺑﻦﻋﺘﺔﻋﻦﻦﻲﻫﻮﺰﻴﺩ
ﺑﻦﺨﺎﻠﺩﺍﻠﺠﻬﻨﻲﻘﺎﺠﺀﺍﻠﻰﺍﻠﻨﻲﺼﻠﻰﷲﺴﻠﻔﻘﺎﺍﻨﺸﺪﻚﷲﺍﻻﻘﻀﻴﺒﻴﻨﻨﻨﺎﺒﻜﺘﺎﷲﻔﻔﻘﺎ
ﺨﺼﻤﻪﻜﺎﺍﻔﻘﻪﻤﻨﻪﻪﻔﻔﻘﺎﺪﻖﺍﻘﻀﻰﺒﻴﻨﺎﺒﻜﺘﺎﺬﻦﻠﻲﻴﺎﻮﻞﷲﻔﻘﺎﺍﻠﻨﺒﻲﺼﻠﻰﷲﻋﻠﻴﻪ
ﻭﺴﻠﻔﻘﺎﺍﻥﺍﺒﻨﻰﻜﺎﻥﺍﺴﻴﻔﺎﻔﻰﺍﻫﻫﺫﺍﻔﻨﻰﺒﺎﺍﻤﺃﺘﻪﻔﺎﻔﺘﻤﻨﻪﺒﻤﺄﺔﺸﺎﺖﻮﺨﺎﺪﻢﻮﺍﻨﻰﺴﺎﻠ
ﺠﺎﻻﻤﺍﻫﺍﻠﻌﻠﻔﺄﺨﺒﺮﻮﻨﻰﺃﻋﻠﻰﺍﺒﻨﻰﺠﻠﺩﻤﺄﺔﻋﺎﻢﻮﻋﻠﻰﺍﻤﺃﺓﻫﺍﺍﻠﻔﻘﺎﻝﻭﺍﻠ
ﻨﻔﺴﻰﺒﻴﺪﺪﻩﻻﻘﻀﻴﺒﻴﻨﻜﻤﺎﺒﻜﺘﺎﷲﺍﻠﺎﺌﺔﺍﻠﺨﺎﺪﻢﺮﺪﻋﻠﻴﻚﻮﻋﻠﻰﺍﺒﻨﺠﺎﻤﺎﺌﺔﺘﻐﻋﺎﻴﺎﺃﻨﻴ
ﺍﻏﻋﻠﻰﺍﻤﺃﺓﻫﺍﻔﺴﻠﻬﺎﻔﺈﺍﻋﺗﺮﻔﺎﺠﻤﻬﺎﻔﺎﻋﺗﺮﺠﻤﻬﺎ﴿ﺍﺨﺠﻪﺍﻠﺒﺨﺎﻱﻔﻰﻜﺘﺎﺍﻠﺤﻮﺪ
ﺒﺎﺒﻤﺍﻹﻤﺎﻢﺮﺠﻼﻔﻴﻀﺮﺐﺍﻠﺤﻏﺎﺌﻋﻨﻪ
Artinya:
Abu hurairah (Abdurrahman Ibn Shakhar) Ra. dan Zaid  Ibn Khalid al-Juhny berkata “telah datang seorang laki-laki kepada Nabi Saw dan  berkata”Saya memohon kepadamu atas nama Allah supaya engkau putuskan diantara kami berdasarkan kitabullah dan izinkan aku akan bicara Ya Rasulullah”. Nabi bersabda”katakanlah” lalu laki-laki itu berkata:”puteraku adalah pelayan pada keluarga orang ini dan berzina dengan isterinya, maka aku menebusnya dengan seratus kambing dan satu budak, kemudian saya tanya kepada orang-orang ahli ilmu, mereka berkata bahwa puteraku dikenai dera seratus kali dan diasingkan satu tahun, sedangkan isterinya orang itu dikenai rajam , maka Nabi Saw bersabda”demi Allah yang jiwaku ada di tangan-Nya, aku akan memutuskan diantara kalian dengan Kitabullah, seratus kambing dan budak dikembalikan padamu, dan puteramu dihukum dera seratys kali dan diasingkan selama setahun. Hai Unais pergilah kepada isteri orang ini dan tanyakan kepadanya jika ia  mengaku maka rajamlah”. Maka ditanyakan  kepadanya dan ia mengaku, dirajamlah ia. (HR. Al-Bukhari pada kitab hudud baba Apakah seorang pemimpin menyuruh orang untuk melaksanakan had bagi yang ghaib darinya)[1]

1.      Dalam Masalah Had Perbuatan Zina
Perbuatan zina yang dilakuakn seorang pemuda yang belum menikah dengan perempuan yang sudah menikah:
Rasulullah Saw ditanya seesorang, katanya: Putraku bekerja dengan orang ini, dan ia telah melakukan perzinahan dengan isterinya, lalu aku menebusnya dengan seratus domba ditambah dengan seorang pelayan. Aku telah menanyakan masalah ini kepada beberapa orang berilmu, mereka mengatakan, bahwa hukuman terhadap putraku adalah didera seratus kali dan diasingkan selama setahun. Sementara itu hukuman untuk isteri orang ini adalah rajam. Mendengan cerita tersebut Rasulullah Saw bersabda:”Demi zat yang jiwaku ditangan-Nya, aku  akan memberikan keputusan di antara kalian berdua melalui kitab Allah, yaitu seratus domba dan seorang pelayan dikembalikan kepadamu; seedangkan untuk puteramu dera seratus kali dan diasingkan setahun. Introgasi wahai Anisa isteri orang ini, bila ia mengaku, rajamlah ia”. Ternyata memang mengakui, maka kemudian isteri itupun dirajam. Hadits ini disepakati.
Rasulullah Saw telah
memutuskan hukuman bagi orang yang berzina, namun belum pernah menikah, dengan pengasingan selama setahun dan penegakan had  atasnya. Diceritikan oleh Bukhari.[2]

2.      Pengertian Zina
Ulama Malikiyah mendefinisikan zina dengan me-wa-thi-nya seorang laki-laki mukallaf terhadap faraj wanita yang bukan miliknya dilakukan dengan sengaja. Ulama Syafi’iyah mendefinisikan bahwa zina adalah memasukkan zakar ke dalam faraj wanita yang haram dengan tidak subhat dan secara naluri memuaskan hawa nafsu.
Konsep tentang tindak pidana perzinaan menurut hukum Islam jauh berbeda dengan sistem hukum Barat, karena dalam hukum Islam, setipa hubungan seksual yang diharamkan itulah zina, baik yang dilakuakn oleh orang yang telah berkeluarga maupun yang belum berkeluarga asal ia tergolong orang mukallaf, meskipun dilakukan dengan rela sama rela, jadi tetap merupakan tindak pidana.
Syariat ini adalah untuk mencegah menyebatluasnya kecabulan dan kerusakan akhlak serta untuk menumbuhkan pandangan bahawea perzinaan  itu tidak hanya mengorbankan kepentingan perorangan, tetapi lebih kepentingan masyarakat.
3.      Unsur-unsur Zina
Meskipun para ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikan zina, tetapi mereka sepakat terhadap dua unsur zina, yaitu wathi haram dan sengaja atau ada itikad jahat. Seseorang dianggap memiliki itikad jahat apabila ia  melakukan perzinahan dan ia tahu bahwa perzinahan itu haram.
Yang dimaksud wathi haram adalah wathi pada faraj wanita bukan istrinya atau hambanya atau masuknya zakar itu seperti masuknya ember ke dalam sumur dan tetap dianggap zina meskipun ada penghalang  antara zakar dan farajnya selama penghalang itu tidak menghalangi kenikmatan.
Adapun hukum bagi orang yang melakukan homoseks dikalangan ulama terdapat perbedaan pendapat. Menurut Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad hukuman bagi orang yang melakukan homoseks    itu sama  dengan hukuman orang yang zina. Mereka beralasan bahawa al-Qur’an menyamakan di antara keduanya. Allah berfirman:
Sesungguhnya kami mendatangi lelaki untuk melepaskan  nafsu (kwpada mereka), bukan kepada wanita, malah kamu ini  adalah kaum yang melewati batas (Q.S. al-A’raf)
Dan terhadap dua orang yang melakukan perbuatan keji diantara kamu , maka berilah hukuman kepada keduanya, kemudian jika keduanaya bertobat dan memperbaiki diri, maka biarkanlah mereka. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Tobat lagi Maha Penyayang (QS. Al-Nisa:16)
Ayat-ayat di atas  menyatakan bahwa homoseks adalah fahisyah. Oleh karena namanya sama maka hukumannya sama.
Menurut Imam Abu Hanifah homoseks itu bukan zina meskipun perbuatan itu haram, dengan alasan bahwa:
a.       Mencampuri wanita dengan qubul disebut zina, sedangkan mencampurinya ari dubur disebut liwath. Perbedaan nama itu menunjukkan perbedaan maksud.
b.      Disamping itu, zina membawa rusaknya nasab, sedangkan homoseks tidak demikian.
pendapat mazhab Azh-Zhahiri sama dengan pendapat Imam Abu Hanifah bahwa liwath itu bukan zina dan hukumamnya adalah ta’zir, karen atidak ada nash dan atsar, karen atidak ada nash dan atsar shahih yang menyamakan homoseks de ngna zina.
Perbedaan pendapat di kalangan ulama dalam hal ini dikrenakan perbedaan mereka dalam istimbath. Ada yang menggunakan qiyas dan ada yang tidak menggunakannya. dalam kasus pemerkosaan disepakati oleh para ulama bahwa wanita yang diperkosa tidak dikenal sanksi karena ia dipaksa dan yang memperkosa itulah yang akan dikenai sanksi zina.
Lesbian merupakan suatu perbuatan jarimah, meskipun disepakati oleh para ulama bahwa hukumanya bukan had melainkan ta’zir. Demikian juga istimna’ (mengeluarkan sperma dengan tangan wanita) (al-Rukn al-Maai)
4.      Sanksi Zina
Bila seorang jejaka dan seorang perempuan  berzina, maka sanksinya adalah seratus kali jilid dan dibuang selama satu tahun. Untuk hukuman jilid para ulama sepakat untuk dilaksanakan, sedangkan untuk hukuman bunag adalah hak Ulul Amri. Adapun hukuman rajam menurut fathi Bahansi adalah sanksi bersifat siyasah syah’iyah. Jadi diserahkan kepada kebijaksanaan Ulul Amri untuk menerapkannya atau tidak melaksanakannya tergantung klepada kemaslahatan.[3] Sedangkan menurut Imam Malik, Imam Syafi’I, dan Imam Ahmad wajib dilaksanakan keduanya.
Rincian lebih lanjut Imam Malik berpendapat bahwa yang dibunag hanya laki-laki saja, sedangkan wanitanya tidak boleh dibuang, karena orang wanita tidak boleh pergi sendiri tanpa adanya mahram. Sedangkan menurut Iamam Syafi’I, Imam Ahmad, dan Imam Azh-Zhahiri hukuman buang setahun itu dikenkaan kepada keduanya.
Disamping itu, para ulama berbeda pendapat tentang pengertian at-taghrib. Menurut Imam Abu8 hanifah dan Imam Malik, taghrib itu maksudnya dipenjarakjan, sedangakna menurut Imam syafi’I dan Imam Ahmad dibuang ke suatu tempat lain dengan tetap diawasi.
Hukuman bagi tsayyib (orang sudah menikah) adalah rajam artinya hukuman mati dengan dilempari batu, meskipun ada segolongan Azariqah dan Khawarij berpendapat bahwa hukuman tsayyib adalah seratus kali jilid, karena menurut mereka hadits ini tidak sampai ke tingkat mutawatir.
Disamping itu, para ulama berebeda perndapat apakah hukuman bagi tsayyib itu dijilid seratus kali lalu dirajam ataukah hanya dirajam saja. asa yang menggabungkan kedua hukuman tersebut dengan alasan bahwa jilid itu adalah hukuman pokok, sedangkan dibuang setahun bagi bikr dan dirajam bagi tsayyib itu merupakan hukuman tambahan.
disamping  itu, mereka beralasan bahwa dengan apa yang dilakukan ole Ali bin abu Thalib. Ia menjilid Syurahah pada hari kamis dan merajamnya pada hari jum’at.
Adapun alasan para ulama menganggap cukup dengan dirajam bagi tsayyib adalah kerana Rasulullah merajam Ma’iz dan Ghamidiyah dan merajam seorang Yahudi dan tidak ada nash yang menyatakan bahwa beliau menjilid mereka lebih dulu. Disamping itu berdasarkan prinsip bahwa hukuman yang berat itu menyerap hukuman yang ringan pendapat ini dipegang oleh jumhur.
Adapun hukuman bagi homoseks, lesbian, onani, menggauli binatang, dan menggauli mayat, para ulama berbeda pndapat sesuai dengan perbedaan mereka mengenai apakah perbuatan zina ataukah bukan.
5.      Alat Bukti Zina
Alat bukti zina ada 3 yaitu; saksi, pengakuan, karenah (indikasi).
a.       saksi, disepakati oleh para ulama bahwa zina itu dapat diterapkan kecualli dengan empat saksi. Adapun syarat saksi:
·         baligh
·         berakal
·         Al-hifzu
·         dapat berbicara
·         bisa melihat
·         adil
·         Islam
b.      pengakuan
Jarimah zina dapat ditetapkan dengan pengakuan. Imam Hanifah dan Imam Ahmad mensyaratkan pengakuan ini harus empat kali, karen adiqiyaskan kepada rmpat orang saksi, juga atas dasra hadits riwayat Abu Hurairah, bahwa telah datang kepada Rasulullah Saw. Di suatu mesjid seseorang yang mengaku telah melakuakn xina, tapi Rasul berpaling darinya. Hal ini berulang-ulang sampai pengakuannya yang keempat kali. Setelah pengakuannya ayang keempat Rasul bertanya:”Apakah kamu gila?” dan seterusnya.
Adapun menurut imam Malik dan Imam syafi’I pengakuan itu cukup sekali, karen apengakuan itu merupakan suatu berita dan berita itu tidak mermerlukan pengulangan. Juga adalam hadits dinyatakan (kepada Unais): Bila wanita itu mengaku, maka rajamlah.
Ada juga hal-hal yang perlu diperhatikan mengenai pengakuan tersebut:
harus diketahui dulu apakah Si pengaku itu sehat akalnya, setelah itu ditanya tentang perbuatannya, caranya, tenpatnta, dan waktunya. SEsudah itu ditanya apakah muhsahan atau bukan muhshan.
Disamping itu, Imam abu Hanifah mensyaratkan bahwa pengakuan itu harus diucapkan dimuka sidang dan boleh diluar sidang. Hanya sudah tentu bila pengakuan pengucapan di luar sidang, maka di dfalamnya persidangan harus ada dua orang saksi atas pengakuannya.
c.       Qarinah/tan/tanda-tanda/indikasi
Qaeinah yang dapat diangap sebagai barang bukti di penzinahan. yang sah adalah jelasnya kehamialan wanita yang tidak bersuami.
Qarinah yang berupa kehamilan ini ditetapkan oleh sahabat Nabi, seperti Umar berkata:”Bahwa sanksi zina wajib dikenakan atas setiap pelaku zina bila ada pembuktian atau hamil atau mengaku”.
Demikian juga telah diriwayatkan bahwa Ali bin Abi Thalib berkata:”Zina itu ada dua macam;zina rahasia danm zina yang jelas. Zina Rahasia harus disaksikan oleh empat orang saksi. Sedangkan Zina yang jelas itu adalah dengan hamilnya yang tidak bersuami atau pengakuannya”.
Kehamilan wanita yang tidak bersuami bukanlah suatu qarinah yang pasti, artinya memberikan kemungkinan-kemungkinan lain bahwa kehamilan bukan dari hasil zina. Para Ulama memberi contoh seperti hamil karena diperkosa atau kesalahan dalam persetubuhan (wathi syubhat)
6.      Pelaksanaan Hukuman Zina
Sebagaimana telah diketahui bahwa apabila pezina itu telah terbukti, maka hakim wajib menjatuhkan hukuman had kepada para pelakunya. Bila seeorang pelaku zina telah berkali-kali melakuakn perzinahan baru tertangkap, maka baginya cukup dijatuhi hukuman satu kali saja.[4]

Jadi dari penjelasan hadits tersebut dapat kita pahami bahwa dari kasus di dalam hadits itu, laki-laki yang belum kawin apabila berzina maka di dera (dicanbuk) seratus kali dan diasingkan selama 1 tahun.

Sebagaimana hadits Nabi Saw :
ﻋﻦﺰﻳﺪﺒﻦﺨﺎﻠﺪﺍﻠﺠﻬﻨﻱﻘﺎﻝﺴﻤﻌﺖﺍﻠﻨﺑﻲﺼﺎﻌﻢﻴﺎﻤﺮﻔﻳﻤﻦﺯﻨﻰﻮﻠﻢﻴﺤﺼﻦﺠﻠﺪﻤﺎﺌﺔﻮﺘﻌﺮﻴﺐﻋﺎﻢ
Artinya :
Zaid bin Khalid Al-juhany ra berkata “ aku mendengar Rasulullah Saw; menyuruh agar orang yang belum kawin melakukan zina harus di pukul seratus kali dan di penjara 1 tahun.”[5]
Adapun perempuan yang sudah menikah tersebut, yang merupakan pasangan penzina lali-laki diatas tadi, dikenai hukuman rajam. Sebagaimana hadits Nabi yang menjadi dasar hukum sebagai berikut :
ﺨﺬﻮﺍﻋﺌﻲﻔﻘﺪﺠﻌﻞﷲﻠﻬﻦﺴﺒﻴﻼﺍﻠﺜﻴﺐﺒﺎﺍﻠﺜﻴﺐﻮﺍﻠﺒﻜﺮﺒﺎﺍﻠﺒﻜﺮﺍﻠﺜﻴﺐﺠﻠﺪﻤﺎﺌﺔﺜﻢﺮﺠﻢﺒﺎﺍﻠﺤﺠﺎﺮﺓ
ﻭﺍﻠﺒﻜﺮﺠﻠﺪﻤﺎﺌﺜﻢﻨﻔﻲﺴﻨﺔ
artinya :
Ambilah hukum dariku sungguh Allah telah menetapkan satu jalan (kebaikan);janda yang berzina dengan laki-laki yang pernah kawin, gadis yang berzina dengan laki-lakiyang belum kawin dan janda yang berzina, maka hukumannya adalah dirajam dengan batu, sedangkan gadis yang berzina hukumannya adalah di cambuk sebanyak 100 kali, lalu diasingkan selama setahun.[6]




B. DASAR HUKUM BAGI PARA PENZINA MENURUT AL-QURAN DAN HADITS
1). Menurut hadits Nabi Saw :
ﻋﻦﻋﺒﺎﺩﺓﺒﻦﺍﻠﺼﺎﻤﺖﺮﻀﻲﷲﻋﻨﻪﻘﺎﻞﻘﺎﻞﺮﺴﻮﻞﷲﺼﻠﻰﷲﻋﻠﻴﻪﻭﺴﻠﻢﺨﺬﻮﺍﻋﻨﻲﻔﻘﺪﺠﻌﻞﷲﻠﻬﻦﺴﺒﻴﻼ
ﺍﻠﻜﺒﺮﺒﺎﺒﻜﺮﺠﻠﺪﻤﺎﺌﺔﻮﻧﻔﻲﺴﻨﺔﻮﺍﻠﺛﻳﺐﺒﺎﺍﻠﺛﻳﺐﺠﻟﺪﻣﺎﺌﺔﻮﺍﻠﺮﻡ﴿ﺮﻮﺍﻩﻣﺴﻟﻢ﴾
Diriwayatkan dari ubadah bin shamit ra. Dia berkata”Rasulullah Saw, telah bersabda’ ikutilah perintahku ! ikutilah perintahku ! sesungguhnya Allah telah menetapkan cara hukuman zina bagi kaum wanita, yaitu wanita yang belum menikah (yang berzina) dengan lelaki yang belum menikah mereka terkena hukuman 100 kali pukulan dan dtasingkan selama 1 tahun, sedangkan wanita yang telah menikah (yang berzina) dengan laki-laki yang telah menikah maka mereka terkena hukuman 100 kali pukulan dan rajam. (H.R.Muslim)
Kajian  kebahasaan :
a.       البكربالبكر Yakni wanita atau laki-laki merdeka dan telah sampai umur (baliq) yang belum menikah secara sah.
b.      ﻮﺍﻟﺛﯾﺐﺑاﻟﺛﯾﺐYakni wanita atau laki-laki yang telah menikah secara sah dan telah sampai umur (baliq).
c.       جلد Yakni merupakan hukuman yang telah ditentukan secara pasti (had) sehingga hakim tidak boleh mengurangi atau menambahnya atau menggantinya.
d.      ﻮﻧﻔﻲﺴﻧﺔYakni merupakan hukuman kedua bagi pezina yang diperselisihkan keberadaannya. Abu hanifah dan para pengikutnya berpendapat bahwa pengasingan tersebut tidak wajib dilakukan. Mereka hanya membolehkan saja untuk menyatukan hukuman jilid dengan pengasingan apabila pelaksanaannya membawa kemaslahatan tertentu. Menurut mereka, pengasingan tersebut hanyalah merupakan hukuman ta’zir semata, bukan merupakan hukuman had. Adapun imam syafi’I, malik, dan ahmad berpendapat bahwa seorang hakim wajib menyatukan hukum jilid dan pengasingan. Mereka beranggapan bahwa pengasingan adalah hukuman had sebagaimana halnya hukum jilid. Dasar pijakan mereka adalah hadis ubadah diatas dan diriwayatkan dari umar dan ali yang mengenakan hukum jilid dan pengasingan tanpa ada seorang sahabat pun membantahnya sehingga dianggap sebagai kesepakatan para sahabat bersama.
2). Menurut ayat Al-quran
Pada masa awal islam, hukuman zina berupa penyekapan di dalam rumah dibarengi tindakan-tindakan yang menyakitkan berupa cemoohan atau pukulan. Hukuman zina seperti didasarkan pada firman Allah dalam Al-Quran surat An-Nisa ayat berikut:
   
Artinya :
Dan (terhadap) para wanita yang mengerjakan perbuatan keji , hendaklah ada empat orang saksi diantara kamu (yang menyaksikannya). Kemudian apabila mereka telah memberi persaksian, maka kurunglah mereka (wanita-wanita itu) dalam rumah sampai mereka menemui ajalnya, atau sampai Allah memberi jalan lain kepadanya. Dan terhadap dua orang yang melakukan perbuatan keji di antara kamu, maka berilah hukuman kepada keduanya, kemudian jika keduanya bertaubat dan memperbaiki diri, maka biarkanlah mereka. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.”
Ushul fiqih berbeda pendapat dalam menafsirkan kedua ayat diatas. Sebagain mereka berpendapat bahwa ayat pertama berlaku untuk kaum wanita dan tidak berlaku untuk kaum pria; dan ayat yang kedua merupakan athaf (mengikuti) terhadap ayat pertama yang dihubungkan dengan kata-kata ﻮﺍﻟﻟﺬانﻴﺄﺗﯾﺍﻧﻬاﻣﻧﮏﻡ sehingga keberadaannya menjadi hukum tambahan bagi kaum pria yang disandarkan kepada hukum sebelumnya yang dikenakan kepada kaum wanita. Berdasarkan hal ini, hukuman bagi kaum wanita yang berzina adalah penyekapan di dalam rumah mereka meninggal atau sampai Allah member jalan kepada mereka. Adapun hukuman berzina adalah hukuman yang dapat membuat mereka jera dari melakukan perzinahan.
Sebagian ulama yang lain lagi berpendapat bahwa ayat yang kedua yakni واللذان ﯿاﺗﯿاﻧﻬاﻣﻧﻛﻡ menghapus (nasikh) firman Allah ayat yang pertama: والللاتيﯿﺄﺗﯿنﺍﻟﻔاﺣﺸﺔﻣنﻧﺴاﺌﮏﻡ mereka beranggapan bahwa maksud dari ayatﻮﺍﻟﻟﺬانﻴﺄﺗﯾﺍﻧﻬاﻣﻧﮏﻡ itu adalah kaum laki-laki dan kaum wanita yang berzina اﻟﺰﻧﻲﻭاﻟﺰاﻧﯿﺔ
Adapun pendapat yang disepakati adalah kedua ayat tersebut telah terhapus (mansukh) oleh firman Allah surat An-Nur ayat 2 sebagai berikut:
Artinya:
Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman.[7]
Dari hadits yang dibahas sebelumnya dan ayat Al-Quran jelas dapat kita pahami bahwa hukuman pezina itu, baik laki-laki maupun perempuan ada 2 macam:
·         Hukuman pezina yang belum menikah adalah hukuman jilid (cambuk/dera 100 kali) dan pengasingan selama 1 tahun.
·         Hukuman pezina yang telah menikah dengan hukuman jilid dan rajam.
C). Mudarat bagi para pezina
Zina merupakan perbuatan yang sangat di benci dan di larang oleh Allah di karenakan setiap perbuatan yang berupa larangan pasti mengandung mudarat atau bahaya yang akan diterima oleh pelaku. Sebagaimana hadits yang di terangkan dibawah ini:
Keterangan:
Zina adalah perbuatan yang di larang oleh Allah tidak sekali-kali Allah melarang suatu perbuatan melainkan perbuatan itu mengandung mudarat (bahaya) bagi manusia. Oleh karena itu maka Allah melarang setiap perbuatan yang membahayakan diri manusia diantaranya adalah zina, karena perbuatan zina akan berakibatkan empat perkara bagi pelakunya yaitu: hilang nur wajah, memutuskan jalan rejeki, menapat murka Tuhan dan kekal di neraka apabila ia menghalalkan perbuatan zina itu.[8]



BAB III
PENUTUP

Simpulan :
Zina menurut ulama malikiyah mendefinisikan zina dengan me-wa-thi nya seorang laki-laki mukallaf terhadap faraj wanita yang bukan milikinya dilakukan dengan sengaja. Ulama syafi’iyah mendefinisikan bahwa zina adalah memasukkan zakar kedalam fara yang haram tidak subhat dan secara naluri memuaskan hawa nafsu.
Meskipun para ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikan zina, tetapi mereka sepakat terhadap dua unsure zina yaitu wathi haram dan sengaja atau ada I’tikad jahad, seseoarang dianggap memiliki I’tikad jahat apabila ia melakukan perzinahan dan ia tahu bahwa perzinahan itu haram. Yang di maksud wathi haram adalah wathi pada faraj wanita bukan istrinya/hambanya dan masuknya zakar itu seperti masuknya ember  kedalam sumur dan tetap dianggap zina  meskipun ada penghalang antara zakzr dan farajnya selama penghalang itu tidak menghalangi kenikmatan.
Adapun sanksi zina; apabila jejaka dan seoarang perempuan berzina, maka sanksinya adalah seratus kali jilid (100 kali dera/cambuk) dan di buang selama 1 tahun.

















DAFTAR PUSTAKA



Hadits Nabawi, Drs. H. Abidin Ja’far, Lc.MA. dan M. Noor Fuady, M.Ag., (Penertbit Antasari Press, BJM, 2008).

 Fiqih jinayah, Prof.Drs. H. A. Djazali, (PT. Raja Grafindo Persada: Jakarta, 1996)

Taufiq Rahman, M.Ag. Hadits-hadits Hukum, (Pustaka Stia, Bandung, 2000) h. 157

Syaid Ahmad Al-Hasyimy, Mukhtarul Hadits (Al-Ma’rif, Bandung, 1995) h. 303-304

Drs. Mas’ud Muhsan, Himpunan Hadits Shahih Bukhari, (arkola, Surabaya, 2004)
                       
Fatihuddin-abu yasin, himpunan hadits teladan shahih muslim, (terbit terang,
Surabaya, 2006) h. 200-201

Fiqih jinayah, Prof.Drs. H. A. Djazali, (PT. Raja Grafindo Persada: Jakarta, 1996).


[1] Hadits Nabawi, Drs. H. Abidin Ja’far, Lc.MA. dan M. Noor Fuady, M.Ag., (Penertbit Antasari Press, BJM, 2008).
[2] Ibnu Quyyim Al-Jauziyah, Fatwa-fatwa Rasulullah(Pustaka Azzaim,2000) h.106.
[3] Fathi Bahansi, Al-Siyasah al-Jinayah, hlm.110.
[4] Fiqih jinayah, Prof.Drs. H. A. Djazali, (PT. Raja Grafindo Persada: Jakarta, 1996).
[5] Drs. Mas’ud Muhsan, Himpunan Hadits Shahih Bukhari, (arkola, Surabaya, 2004) h. 161.
[6] Fatihuddin-abu yasin, himpunan hadits teladan shahih muslim, (terbit terang, Surabaya, 2006) h. 200-201
[7] Taufiq Rahman, M.Ag. Hadits-hadits Hukum, (Pustaka Stia, Bandung, 2000) h. 157
[8] Syaid Ahmad Al-Hasyimy, Mukhtarul Hadits (Al-Ma’rif, Bandung, 1995) h. 303-304

Tidak ada komentar:

Posting Komentar