Sabtu, 07 Januari 2012

Adab Bergaul dengan Lawan Jenis


BAB I1
PEMBAHASAN

A.      Adab Bergaul dengan Lawan Jenis
Dilahirkan sebagai seorang wanita adalah anugerah yang sangat indah dari Allah Ta’ala.  Sebuah anugerah yang tidak dimiliki oleh seorang pria. Terlebih anugerah itu bertambah menjadi Muslimah yang mukminah yaitu wanita Muslimah yang beriman kepada Allah.
Nabi saw bersabda yang artinya: “Dunia adalah perhiasan dan sebaik-baik perhiasan dunia adalah wanita yang shalihah.” (HR. Muslim).
Menjadi wanita muslimah yang beriman kepada Allah tentu tidak mudah, karena banyak sekalingodaan-godaan dalam mencapainya. Dikarenakan balasan yang Allah janjikan pun tidak terbandingkan dan semua wanita pun menginginkannya. Godaan-godaan untuk menjadi wanita shalihah sering kali datang dan menggebu-gebu saat kita menginjak usia remaja, di mana masa puberitas seorang wanita ada di masa ini. Bukan hal yang mudah pula bagi remaja Muslim dalam melewati masa ini, namun sunnguh sangat indah bagi para remaja yang bisa dikatakan lulus dalam melewati maasa pubertas yang penuh godaan ini.
Salah satu godaan yang amat besar pada usia remaja adalah “rasa ketertarikan terhadap lawan jenis”. Memang, rasa tertarik terhadap lawan jenis adalah fitrah manusia, baik wanita atau lelaki. Sebagai wanita Muslimah kita harus yakin bahwa kehormatan kita harus dijaga dan dirawat, terlebih ketika beromunikasi atau bergaul dengan lawan jenis agar tidak ada mudhorat (bahaya) atau bahkan fitnah. Di bawah ini akan kami ungkapkan adab-adab brgaul dengan lawan jenis.di antaranya:


1.    Dilarang Rasulullah saw seorang perempuan berduan dengan ipar
Secara khusus Rasulullah memperingatkan juga seorang perempuan denga  ipar sebab sering tejadi karena dianggap sudah terbiasa dan memperingan hal tersebut di kalangan keluarga, maka kadang-kadang membawa akibat yang tidak baik. Karena berduaan dengan keluara itu bahyanya lebih berat daripada dengan orang lain dan fitnah yang lebih kuat, sebab memungkinkan dia dapat masuk tempat perempuan tersebut tanpa ada yang menegur. Hal ini berbeda sekali dengan orang lain.[1]
Yang sama dengan ini ialah keluara perempuan yang bukan mahramnya seperti kemenakannya baik dari pihak ayah atau ibu. Dia tidak boleh berkhalwat dengan mereka.
Raslullah saw bersabda sebagai berikut:

ا يا كم و الد خو ل على النسا ء فقا ل رجل من الا نصر يا ر سو ل الله افريت؟ فال: حمو المو ت .
“Hindarilah keluar rumah seorang perempuan kemudian, ada seorang laki-laki dari sahabat Anshar bertanya: Ya Rasulullah. Bagaiman pendapat tantang ipar? Maka jawab Nabi: berduaan dengan ipar itu sama dengan menjumpai mati (mengkhawatirkan). (HR. Bukhari).
Menurut Syaikh Yusuf Qardawi yang dimaksud ipar ialah keluarga istri/keluarga suami. Berkhalwat  berduaan dengan ipar membawa bahaya dan kehancuran, yaitu hancurnya Agama, karena terjadi perbuatan maksiat dan hancurnya seorang perempuan dengan cerai oleh suaminya apabila sampai terjadi cemburu serta membawa kehancuran hubungan sosial terjadi apabila salah satu keluarganya itu ada yang berburuk sangka kepadanya.
Bahaya ini bukan hanya sekedar insting manusia dan perasaan-perasaan yang ditimbulkan saja, melainkan akan mengancam eksistensi rumah tangga dan kehidupan suami istri serta rahasia kedua belah pihak yang dibawa-bawa oleh lidah-lidah usil atau keinginan-keinginan untuk merusak rumah tangga  orang. Karena itu pula Ibnu Atasir menjelaskan perkataan “Ipar” adalah sama dengan mati. Itu mengatakan sebagai berikut. Perkataan tersebut biasa dikatakan oleh orang-orang Arab seperti mengatakan singa itu sama dengan mati, raja itu sama dengan api, yakni bertemu dengan singa dan raja sama bertemu mati dan api. Menurut saya, jadi berkhalwat dengan ipar lebih hebat bahayanya daripada berkhalwat dengan orang lain sebab kemungkinan dia dapat berbuat baik yang banyak kepada si ipar tersebut dan akhirnya memberatkan kepada suami yang diluar kemampuan suami, pergaulan yang tidak baik atau lainnya. Seorang suami tidak merasa kikuk untuk melihat dalam rumah ipar dengan keluar masuk rumah ipar tersebut.

2.    Dilarang untuk berkhalwat (berdua-duan) TTM, teman tapi mesra, kemana-mana bareng,kekantin bareng, berangkat sekolah bareng, pulang sekolah bareng. Hal ini merupakan gambaran remaja umumnya saat ini, dimana batas-batas pergaulan di sekolah umum sudah sangat tidak wajar dan melanggar prinsip islam. Namun tidak mengapa kita sekolah di sekolah umum jika tetap bisa menjaga adab-adab bergaul dengan lawan jenis. Jika ada seorang laki-laki berduan dengan seorang perempuan maka yang ketiga sebagai pendampingnya adalah setan.
Dari Umar bin Khattab, ia berkhutbah dihadapan manusia di Jabiyah (suatu perkampungan di Damaskus), ia bmembawakan sabda Nabi saw bersabda yang artinya: “Janganlah salah seorang diantara kalian berduan denga seorang wanita (yang bukan mahramnya) karena setan adalah orang ketiganya, maka barang siapayang bangga dengan kebaikannya dan sedih dengan keburukannya maka dia adalah seorang yang mukmin.” (HR. Ahmad, sanad hadits ini Shahih).
Daripada setan yang menemani kita lebuh baik malaikat bukan? Ngaji, membaca Alquran dan memahami artinya serta menuntut ilmu agama Insya Allah malaikatlah yang akan mendampingi kita. Tentu sebagai wanita yang cerdas, kita akan lebih memilih untuk mendampingi oleh malaikat.

3.    Menundukkan pandangan
Pandangan laki-laki terhadap perempuan atau sebaliknya adalah temasuk panah-panah setan. Kalau Cuma sekilas saja atau spontanitas atau tidak sengaja maka tidak menjadi masalah pandangan mata tersebut, pandangan pertama yang tidak sengaja dibolehkan namun selanjutnya adalah haram. Ketika melihat lawan jenis, maka cepatlah kita tundukkan pandangan itu, sebelum Iblis memasuki atau mempengaruhi pikiran dan hati kita. Segera mohon pertolonan kepada Allah agar kita tidak mengulangi pandangan itu. Dari Jarir bin Abdullah ra, dia berkata, “Aku bertanya kepada Rasulullah saw mengenai pandangan yang tidak di engaja. Maka beliau memerintahku supaya memalingkan pandanganku.

4.    Jaga aurat terhadap lawan jenis
Jagalah auat kita dari pandangan laki-laki yang bukan mahramnya. Maksudnya mahran disini ialah  laki-laki yang haram untuk menikahi kita. Yang tidak termasuk mahram seperti teman sekolah, teman bermain, teman pena bahkan teman dekatpun kalau dia bukan mahram kita, mak kita wajib menutup aurat kita dengan sempurna. Maksud sempurna disini yaitu kita menggunakan jilbab yang menjulur keseluruh tubuh kita dan menutupi dada. Kain yang dimaksud pun adalah kain yang di syari’atkan, missal kain yang tidak tipis, tidak boleh sempit, dan tidak membentuk lekuk tubuh kita. Adapun yang bukan termasuk aurat dari seorang wanita ialah kedua telapak tangan dan muka atau waajah.
Nabi saw bersabda, yang artinya: “Wanita itu adalah aurat. Jika ia keluar maka setan akan memperindahnya di mata laki-laki.” (HR. tirmidzi, Shahih).

5.    Tidak boleh ikhtilat (campur baur antara wnita dan pria)
Ikhtilat itu adalah campur baurnay seorang wanita dengan laki-laki di satu tempat tanpa ada hijab. Di mana ketika tidak ada hijab atau kain pembatas masing-masing wanita atau lelaki tersebut bisa melihat lawan jenis dengan sangat mudah dan sesuka hatinya. Tentu kita sebagai wanita Muslimah tidak mau dijaidikan obyek pandagan oleh banyak laki-laki bukan? Oleh karena itu harus menundukkan pandangan, demikian pun yang laki-laki mempunyai kewajiban yang sama untk menundukkan pandangannya terhadap wanita yang bukan mahramnya, karena ini adalh perintah Allah dalam Alquran dan akan menjadi berdosa bila kita tidak menaatinya.


6.    Menjaga kemaluan
Menjaga kemaluan juga bukan hal yang mudah, karena dewasa ini banyak sekali remaja yang terjebak ke dalam pergaulan dan seks bebas. Sebagi Muslim kita wajib tahu bagaiman cara menjaga kemaluan. Caranya antara lain dengan tidak melihat gambar-gambar yang senonoh atau membangkitkan nafsu syahwat, tidak terlalu sering membaca atau menonton kisah-kisah percintaan, tidak terlalu sering berbicara atau berkomunikasi dengan lawan jenis, baik secara langsung (tatap muka) ataupun melalui telpon, SMS, chatting, YM dan media komunikasi lainnya.
Hal ini akan berakibat fatal, karena kaum wanita akan bergaul dengan orang-orang yang bukan mahramnya dengan adab pergaulan ketiak dia sedang bersama dengan mahramnya, seperti membuka aurat, khalwat, safar, dan lainnya.

Laki-laki yang bukan mahran bagi waita:
a.       Ayah dan Anak Angkat
Hukum pengangkatan anak telah dihapuskan dalam Islam sehingga seseorang tidak dapat mengangkat anak kemudian dinasabkan kepada dirinya, Allah Ta;ala berfirman, yang artinya: “Dan Allah tidak menjadiakn anak-anak angkatmu sebagai anak kandung (sendiri), yang demikian itu hanyalah perkataan dimulutmu saja, dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan dia menunjukkan jalan (yang benar).” (QS. Al Ahzab: 4).
Anak angkat tersebut juga tidak dapat menjadi ahli warisnya, karena pada hakikatnya anak tersebut dinilai sebagai orang lain.

b.      Sepupu (Anak Paman/Bibi dari Ayah maupun dari Ibu)
Allah Ta’ala berfirman tentang hal ini setelah menyebutka tentang macam-macam orang  yang haram dinikahi, artinya: “Dan diharamkan (juga kamu mengawini) wanita yang bersuami,kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. Dan di halalkan bagi kamu selain yangdemikian….” (QS. An Nisa’: 24).
Syaikh Abdurrahman Nashir As-Sa’di rahimahullah berkata dalam menjelaskan ayat tersebut, “Hal itu seperti anak Paman/Bibi (dari Ayah) dan anak Paman/Bibi (dari Ibu).” (Tatsir Karimir Rohman fii kalamil Mannan hal 138-139

c.       Saudar Ipar
Hal ini berdasarkan keterangan hadits
“Waspadailah oleh kalian, menemui para wanita.” Perkataan seseorang dari Anshor, “Wahai Rasulullah agaimana pendapatmu kalu dia adalah Al-Hamwu (kerabat suami)?” rasulullah bersabda, “Al-Hamwu adalah merupakan kematian.” (HR. Bukhari no.5232 dan Muslim no.2172).
Imam Al-Baghawi berkata, “Yang dimaksud dalam hadits ini adalah saudara laki-laki suami (ipar) karena dia tidak termasuk mahram bagi si Istri. Dan seandainya yang dimaksud adalah mertua padahal ia termasuk mahram, lantas bagaimanakah pendapatmu terhadap orang yang buka mahram?” lanjutnya, “Maksudnya, waspadalh terhadap saudara ipar sebagaimana engkau waspada dari kematian.

7.    Mahram Titipan
Kebiasaan yang terjadi adalah apabila ada seorang wanita yang akan berpergian jauh (safar) seperti berangkat umarah, dia mengangkat seorang lelaki yang ‘berkelakuan’ sebagai mahram sementara. Ini merupakan musibah yang sangat besar.
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani menilai dalam Hajjatun Nabi (hal 108), “ini termasuk bid’ah yang sangat keji, sebab tidak samar lagi padanya terhadap hiyal (penipuan) terhadap syari’at. Dan merupaan tangga kemaksiatan.” Hukum wanita dengan mahramnya beberapa di antaranya ialah:
a)      Tidak boleh menikah dengan Mahramnya[2]
Berdasarkan firman Allah Ta’ala, “Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh). Diharamkan atas kamu (mengawini) Ibu-ibumu, anak-anakmu yang perempuan, saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan, saudara-saudara Ibumu yang perempuan, anak-anak perempuan dari saudara-saudara yang laki-laki, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan, Ibu-ibumu yang menyusui kamu, saudara perempuan persusuan, Ibu-ibu Istrimu (Mertua), anak-anak istrimu yang dalam pemeliharaanmu dan istri yang telah kamu campuri, tetapi jaka kamu belum campur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya, (dan diharamkan bagimu) istri-istri anak kandungmu (Menantu), dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi masa lampau, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. An Nisa’ ayat 22-23).

b)      Mahram Boleh Menjadi Wali Pernikahan
Wali adalah syarat sah sebuah pernikahan, riwayat dari Abi Musa Al Asy’ari berkata, Rasulullah saw bersabda, “Tidak sah nikah kecuali ada wali.” (HR. Abu Dawid, Tirmidzi, Ad Darimi, Ibnu Hibban, Hadits Shahi).
Namun tidak semua mahram berhak menjadi wali pernikahan, begitu pula sebaliknya, tidak semua wali dari mahramnya. Contoh wali yang bukan dari mahram ialah seperti anak laki-laki paman (saudara sepupu laki-laki), orang yang telah memerdekakannya, Sulthan. Adapun mahram yang tidak  bisa menjadi wali ialah seperti mahram karena mushoharoh (pernikahan).

c)      Wanita tidak boleh safar (berpergian jauh) kecuali dengan mahramnya
Banyak sekali hadits tentang larangan safar bagi wanita tanpa mahramnya.
Dari Abu Hurairah ra, Rasulullah saw dalam sebuah peperangan bersabda, “Tidak halal bagi wanita yang beriman kepada Allah dan hari Akhir untuk mengadakan safar sehari semalam tidak bersama mahramnya.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Syaikh Salim Al-Hilali berkata: “Para ulama berpendapat bahwa batasan hari dalam hadits di atas tidak dimaksud untuk batasan minimal.
d.      Tidak boleh khalwat (berdua-duaan), kecuali bersama mahramnya
Dari Ibnu Abbas ra, beliau berkata, “Saya mendengar Rasulullah saw bersabda, “Janganlah seorang laki-laki berkhalwat (berduaan) dengan seorang wanita kecuali bersama mahramnya, juga jangan safar denagn wanita kecuali bersama mahramnya.” Seorang laki-laki berdiri lalu berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya istri saya pergi haji, padahal saya ikut dalam sebuah peperangan,” maka Rasulullah menjawab, “Berangkatlah untuk berhaji dengan Istrimu.” (HR. Bukhari dan Muslim).

8.    Tidak boleh menampakkan perhiasan (auratnya) kecuali kepada mahramnya[3]

9.    Tidak boleh berjabat tangan kecuali dengan mahramnya.
Di zaman sekarang  ini, jabat tangan dengan wanita sudah menjadi hal yang lumrah, padahal Rasulullah saw sangat mengancam keras pelakunya
Dari Ma’qil bin Yasar ra, Rasulullah saw bersabda, “Seandainya kepala orang ditusuk jarum dari besi itu lebih baik daripada menyentuh wanita yang tidak halal baginya.” (HR. Thabrani dan Rauyani. Hadits Hasan)
Syaikh Abdul Aziz bin Baz Rahimahullah pernah ditanya tentang hal tersebut, maka beliau menjawab, “Tidak boleh berjabat tangan dengan wanita yang bukan mahramnya, baik wanita tersebut masih muda ataukah sudah tua renta, karena berjabat tangan ini bisa menimbulkan fitnah. Juga tidak dibedakan apakah jabat tangan ini ada pembatasnya atau tidak (langsung bersentuhan dengan kulit ataupun dilapisi dengan kain), hal ini dikarenakan keumuman dalil (larangan jabat tangan) juga untuk mencegah timbulnya fitnah.” (Fatawa Islamiyah).





BAB III
PENUTUP

Simpulan
Secara khusus Rasulullah saw memperingatkan juga seorang perempuan dengan ipar sebab sering terjadi karena dianggap sudah terbiasa dan memperingan hal tersebut di kalangan keluarga, maka kadang-kadang membawa akibat yang tidak baik. Karena berduaan dengan keluarga itu bahayanay lebih berat daripada dengan orang lain dan fitnah yang lebih kuat, sebab memungkinkan dia dapat masuk tempat perempuan tersebut tanpa ada yang menegur. Hal ini berbeda sekali dengan orang lain.
Yang sama dengan ini ialah keluarga perempuan yang bukan mahramnya seperti kemenakannya baik dari pihak Ayah atau Ibu. Dia tidak boleh berkhalwat  dengan mereka.
Rasulullah saw pernah bersabda sebagai berikut:

ا يا كم و الد خو ل على النسا ء فقا ل رجل من الا نصر يا ر سو ل الله افريت؟ فال: حمو المو ت .
“Hindarilah keluar rumah seorang perempuan kemudian, ada seorang laki-laki dari sahabat Anshar bertanya: Ya Rasulullah. Bagaiman pendapat tantang ipar? Maka jawab Nabi: berduaan dengan ipar itu sama dengan menjumpai mati (mengkhawatirkan). (HR. Bukhari).









DAFTAR PUSTAKA


Al-Jauziyah, Ibnu Qayyim. 2000. Buah Ilmu, Saudi Arabia: Buah Ilmu.

An-Nawai, Muhammad bin Umar. 2000.  Terjelah Syarah Uqudullijain Etika Rumah Tangga, Terjemah, Jakarta: Pustaka Amani.

Baqi’, Muhammad Fu’ad Abdul. Al-Lu’lu’Wal Marjan, Surabaya: PT. Bina Ilmu.

Qardawi, Muhammad Yusuf, 2007.  Halal dan Haram dalam Islam. Terjemah, H. Muhammad Hamidy, Surabaya: PT. Bina Ilmu, 2007.

Rasjid, Sulaiman, 2009. Fiqih Islam.. Bandung: Sinar Baru Algensindo.


[1] Syekh Muhammad Yusuf Qardawi, Halal dan Haram dalam Islam. Terjemah, H. Muhammad Hamidy, (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 2007), h. 204.
[2] Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam. (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2009), h. 389.
[3] Syekh Muhammad bin Umar An-Nawawi, Terjelah Syarah Uqudullijain Etika Rumah Tangga, Terjemah, (Jakarta: Pustaka Amani, 2000), h. 104.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar