Sabtu, 07 Januari 2012

Memakai Cincin Emas


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
          Beberapa pendapat tentang di perbolehkan dan di haramkannya memakai cincin emas/perak bagi wanita maupun laki-laki.
B.     Rumusan masalah
           Saya sebagai penyusun merumuskan masalah yang saya tulis dalam masalah yaitu mengenal hadist yang berhubungan tentang memakai cincin emas.
C.     Tujuan Penulisan
1.      Untuk memenuhi tugas yang di berikan oleh Bapak Ahmad Zakki Mubarak M, Ag
2.      Untuk mengetahui tentang hadist
D.    Metode Penulisan
           Untuk melengkapi data-data dalam penulisan ini, maka saya menggunakan metode internal yaitu mengumpulkan data dengan memilih-milih sesuai dengan pembahasan.








BAB II
PEMBAHASAN

A.    Memakai Cincin Emas (2)

حدًَ ثَنيِ يَحْيَى بْنُ بُكَيْرٍ حَدَّ ثَنآ ا للَّيْثُ ءَنْ يُونُسَ ءَنْ ابْنِ شِهآبِ قآلَ حَدَّ ثَنِي
 أََنَسُ بْنُ مآلِِكٍ رَضِيَ اللَّهُ ءَنْهُ أنَّهُ رَأَى فِي يَدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ ءَلَيْهِ
 وَسَلَّمَ خآتَمآً مِنْ وَرِقٍ يَوْمآً وَاحِدًا ثُمَّ إِنَّ النَّآسَ اصْطَنَءُوالْخَوَاتِيمَ مِنْ وَرِقٍ وَلَبِسُوهآ فَطَرَحَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ ءَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَآتَمَهُ فَطَرَحَ النَّاسُ
 خَوَاتِيمَهُمْ

Artinya : Anas Ibn Malik Ra bahwasanya pada suatu hari ia melihat di tangan Rasulullah SAW seutas cincin perak, kemudian orang-orang membuat cincin perak dan memakainya, maka Rasulullah SAW melepaskan cincinnya dan orang-orangpun melepaskan cincinnya (HR Al-Bukhary pada kitab pakaian bab Cincin Perak).

     Keterangan : Di dalam hadist lain (HR.Muslim na. 5452) di terangkan bahwa cincin beliau itu turun kepada Abu Bakar As-Shiddiq kemudian ke Umar Ibn Khattab lalu ke Utsman Ibn Affan sampai akhirnya jatuh pada sebuah sumur Aris. Cincin itu berukirkan Muhammad Rasulullah.[1]
     Diharamkan bagi laki-laki dan perempuan memakai emas dan perak alasan tidak dibolehkannya memakai emas dan perak itu jelas, karena memakainya dapat menyebabkan sulitnya kedua mata uang tersebut untuk kepentingan transaksi, juga dapat menyakitkan sebenarnya adalah makruh.
     Laki-laki boleh memakai cincin perak seberat dua dirham, karena Nabi SAW juga memakai cincin perak seberat dua dirham, maka kita pun boleh satu saja, maka tidak boleh lebih dari satu sekalipun seluruhnya seberat dua dirham. Selebihnya dari dua dirham hukumya haram, juga cincin yang sebagiannya emas dan sebagiannya lagi perak, sekalipun emasnya sedikit. Cincin tadi sebaiknya dikenakan dikelingking di tangan kiri dan makruh di tangan kanan. Sedangkan yang bukan emas/perak kemudian dilapisi emas dan perak, maka dalam hal ini ada dua pendapat : ada yang tidak membolehkan, ada juga yang membolehkan. Kedua pendapat itu seimbang. Adapun yang terbuat dari perak/emas kemudian dilapisi tembaga atau timah, juga ada dua pendapat : ada yang tidak membolehkan, dan ada juga yang membolehkan.
     Laki-laki boleh memiliki perhiasan emas/perak untuk disewakan kepada yang boleh memakainya tanpa ada perbedaan pendapat. Laki-laki boleh memakai cincin perak, bahkan sunnat, selama tidak sampai berlebihan secara urf denagn memperhatikan kebiasaan orang-orang lain, baik dari segi beratnya, jumlahnya maupun tempatnya. Bila ia melebihi kebiasaan orang lain, maka hukumnya haram. Yang lebih utama hendaklah cincin itu di pakai di kelingking tangan kanan dan sunnat mata cincinnya ada di bagian dalam telapak tangan.
     Laki-laki boleh memakai cincin perak dengan syarat cincin tersebut di buat seperti yang biasa di pakai kaum laki-laki sedang apabila di buat seperti cincin wanita, misalnya cincin itu mempunyai dua mata dan lain sebagainya, maka hukumnya makruh. Demikian juga di makruhkan memakai cincin yang bukan perak, seperti besi, tembaga dan timah. Yang demikian itu makruh bagi laki-laki dan wanita sama saja. Sedangkan memakai cincin akik ada perbedaan pendapat. Tidak apa-apa menutup lubang mata cincin dengan paku mas. Cincin perak tidak boleh lebih dari satu mitsqal (=4,68 g, Mesir). Menggunakannya bagi laki-laki adalah sunnat bila memerlukannya, seperti seorang qathi dan hakim yang di dalam cincinnya tertulis namanya. Cincin itu hendaklah dipakai di kelingking tangan kiri, boleh juga di tangan kanan.

     Diharamkan memakai emas pada perasaan orang-orang miskin yang tidak memilikinya untuk memperoleh makanan pokok kecuali dengan kerja keras, sementara itu mereka melihat yang lain berlebih-lebihan memakai dan menahannya tanpa peduli, sehingga yang demikian dapat menyinggung hati mereka dan meninggalkan kesan yang tidak baik dalam jiwa mereka. Karena itu syariat islam mengharamkan pemakaian emas dan perak bagi laki-laki dan wanita kecuali dalam keadaan-keadaan (tertentu) yang memerlukan itu. Maka di bolehkan bagi wanita memakainya sebatas untuk perhiasaan, karena wanita memang butuh perhiasaan, ia boleh mempercantik diri dengan emas dan perak sesuai kehendaknya. Demikian juga dibolehkan bagi laki-laki memakai cincin perak, karena terkadang ia butuh untuk keperluan mengukir nama sehingga mudah di pakai dan merasa tenang (percaya diri) dengan mengenakan cincin di tangannya. Demikian juga syariat membolehkan memakai emas dan perak sekedarnya sebatas tidak sampai menyebabkan pengetatan terhadap kedua mata uang itu sebagaimana akan di jelaskan nanti.[2]
     Ibn Umar r.a berkata : Rasulullah SAW membuat cincin perak yang selalu di pakai di tangannya, kemudian sesudah meninggal di pakai oleh Abu Bakar, kemudian setelah Abu Bakar di pakai di tangan Umar, kemudian di tangan Utsman sehingga jatuh dalam sumur aries. Dan ukirannya adalah : Muhammad Rasul Allah.
     Kemudian Anas r.a berkata : Nabi SAW membuat cincin, lalu bersabda: Aku telah membuat cincin dan mengukir padanya ukiran, maka jangan ada seorang pun yang mengukir seperti itu. Anas berkata : Dan aku melihat kilauan cincin itu di jari kelingking Nabi SAW.
     Anas bin Malik r.a berkata : ketika Nabi SAW akan menulis surat kepada raja-raja di luar Arabia, di beritahu bahwa mereka tidak akan membaca surat kecuali yang tersetempel, maka karena itu Nabi SAW, membuat cincin perak yang di ukir Muhammad Rasul Allah, seakan-akan aku masih melihat putihnya cincin itu di jari Nabi SAW. Kemudian beliau melihat di jari Nabi SAW ada cincin perak pada suatu hari, kemudian orang-orang membuat cincin dari perak dan memakainya kemudian Nabi meletakkan cincinnya, maka orang-orang pada melepas cincin mereka.[3]
     Qutaibah dan yang lainnya menceritakan kepada kami, dari Abdullah bin Wahab, dari Yunus, dari Ibnu Syihab, dari Anas, ia berkata, “Cincin Rasulullah terbuat dari perak, sedang matanya adalah batu dari negeri Habasyah”.[4]


B.     Pendapat Para Ulama


     Menurut Syeikh Manshur Ali Nashif Al Husaini dalam kitab At Taaj Al Jaami’ Lil Ushuli Fii Ahaadiitsir Rasuuli diriwayatkan ketika ada seorang lelaki datang pada Nabi SAW sedang memakai cincin tembaga, maka beliau SAW berkata padanya : “ Mengapa aku mencium bau berhala-berhala dari kamu?”. Ketika lelaki itu meletakkan cincinnya, kemudian ia datang lagi pada beliau sedang ia memakai cincin dari besi, maka beliau berkata padanya : “ Mengapa aku mencium bau penduduk neraka padamu?”. Lelaki itu mencopot cincinnya seraya berkata : “ Dari apakah aku boleh memakai cincin?”. Sabda beliau : “ Buatlah cincin dari perak dan jangan engkau lebihkan timbangan sebesar satu mitsqal”.
     Dari Anas ra bahwasanya ketika Nabi SAW hendak menulis surat pada kaisar Persia, Kaisar Romawi dan Kaisar Najasyi, maka di katakan oleh para sahabat bahwa para Kaisar itu tidak mau menerima surat yang telah distempel. Maka Nabi SAW minta di buatkan sebuah cincin dari perak yang mata cincinnya berukir “ Muhammad Utusan Allah “. Kemudian bahwasanya Nabi SAW memakai cincin dari perak yang terukir pada mata cincinnya kalimat “ Muhammad utusan Allah “. Beliau bersabda pada orang-orang : “ Aku memakai cincin dari perak dan aku ukir di dalamnya kalimat “ Muhammad utusan Allah “, maka janganlah ada seorangpun yang mengukir sepertinya “. Ukiran yang terdapat pada cincin Nabi SAW terdiri dari tiga baris yaitu “ Muhammad “, satu baris, “ Utusan “, satu baris, “ Allah “ satu baris. Cincin Nabi SAW maupun mata cincinnya terbuat dari perak. Beliau memakai cincin dari perak di tangan kanannya dan mata cincinnya daribatu Habasyah. Beliau meletakkan mata cincinnya pada urutan setelah telapak tangannya. Cincin Nabi SAW di letakkan pada jari kelingking sebelah kiri tangan beliau.
     Diriwayatkan pula bahwa Al Hasan dan Al Husain ra selalu memakai cincin pada tangan kiri mereka.
     Dari Ali ra katanya : “ Nabi SAW melarang aku memakai cincin pada kedua jariku ini dan ini yaitu jari tengah dan jari telunjuk “.
     Dari Anas ra katanya : “ Biasanya Nabi SAW jika masuk ke dalam tempat buang air, maka beliau melepaskan cincinnya.
     Dari Ibnu Umar ra katanya : Nabi SAW membuat cincin dari perak, cincin itu tetap berasa di tangan beliau. Kemudian berada di tangan Umar, kemudian berada di tangan Utsman, sampai cincin tersebut terjatuh di dalam sumur “ Ariis “.[5]
     Menurut K.H. Adib Bisri Musthofa dalam kitab Tarjamah Shahih Muslim yaitu dari Anas bin Malik, beliau berkata : “ Cincin Rasulullah SAW adalah dari perak dan mata cincinnya adalah batu Habsyi ( yang berwarna hitam).” Bahwa Rasulullah SAW memakai cincin perak di tangan beliau. Maka cincinnya adalah batu Habsyi. Biasanya beliau meletakkan mata cincinnya di telapak tangan beliau.”
     Dari Ali, beliau berkata : “ Nabi SAW. Melarangku memakai cincinku di jari ini ( jari tengah ) atau di jari sebelahnya. Ashim ( perawi hadist ) tidak tahu di sebelah yang mana. Beliau juga melarangku memakai pakaian kependetaan dan duduk di atas bantal.” Yang di maksud dengan pakaian kependetaan ialah pakaian dari kain bergaris yang di datangkan dari Mesir atau Syam. Adapun bantal yang di kehendaki adalah sesuatu yang biasannya di sediakan oleh para wanita untuk suami-suami mereka di atas pelana, seperti beludru berwarna merah.[6]
     Menurut Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam kitabnya Fathul Baari, maksudnya keterangan yang membolehkan untuk memakainya. Dalam kitab ini di sebutkan dua hadist yaitu :
     Pertama, hadist Ibnu Umar yang di riwayatkan melalui Yusuf bin Musa, dari Abu Usamah, dari Ubaidillah bin Umar Al Umari, dari Nafi’. Membuat cincin dari emas arti ‘ membuat ‘ adalah memerintahkan tukang sepuh untuk membuatkannya, lalu beliau memakainya. Atau beliau mendapatkan cincin yang telah di buat dan memakainya. Kalimat “ ke arah bagian telapak tangannya “, dalam riwayat Al Kasymihani di sebutkan ( bagian telapak tangannya ). Dalam riwayat Juwairiyah dari Nafi’ seperti akan di sebutkan-di sebutkan ( apabila beliau memakainya ). Adapun kalimat, “ Beliau mengukir pada cincin itu, “ Muhammad Rasulullah’,” artinya beliau memerintahkan untuk di ukir.
     (orang-orang yang membuat sepertinya). Mungkin persamaan di sini dari wujudnya yaitu perak sekaligus ukirannya. Mungkin juga di pahami secara mutlaq bahwa mereka membuat cincin. Kemudian kalimat, “ Beliau melemparkannya dan bersabda, ‘ Aku tidak akan memakainya selamanya’”, dalam riwayat Juwairiyah dari Nafi’ di sebutkan ( Beliau naik ke atas mimbar, lalu memuji Allah dan menyanjungnya dan bersabda, “Tadinya aku membuatnya dan sungguh aku tidak memakainya”.) dalam riwayat Al Mughirah bin Ziyad di sebutkan (Beliau pun melemparkannya dan kami tidak tahu apa yang beliau lakukan). Mungkin Nabi SAW tidak menyukainya, karena ada yang menyamainya, atau karena beliau SAW melihat mereka berhias dalam memakainya. Mungkin juga karena cincin itu terbuat dari emas dan bertepatan dengan turunnya pengharaman memakai emas bagi kaum laki-laki. Hal ini di kuatkan oleh riwayat Abdullah bin Dinar dari Ibnu umar yang ringkas pada bab di atas dengan redaksi, (Rasulullah SAW  memakai cincin emas, lalu beliau mencampakkannya dan bersabda, “Aku tidak akan memakainya selamanya”). Sementara kalimat “lalu beliau menggunakan cincin perak”, dalam riwayat Al Mughirah bin Ziyad di sebutkan (kemudian beliau memerintahkan di buatkan cincin perak dan di ukir ‘Muhammad Rasulullah’).
     (Orang-orangpun membuat cincin perak). Pada hadist Ibnu Umar tidak di sebutkan tentang perbuatan orang-orang yang menggunakan cincin perak, baik perintah maupun larangan. Masalah ini akan di bahas pada hadist Anas ra.
     (Ibnu Umar berkata, “Cincin itu di pakai setelah Nabi SAW wafat oleh Abu Bakar, kemudian Umar, lalu Utsman, hingga terjatuh dari Utsman ke sumur Aris”). Ariis adalah sumur yang terletak di kebun dekat masjid Quba’. Pada bab “Mengukir Cincin” akan di sebutkan dari riwayat Abdullah bin Numair dari Ubaidillah Al Umari dengan redaksi, (kemudian sesudah itu berada di tangan Abu Bakar). Lalu di sebutkan Umar dan Utsman sama seperti urutan di atas. Pada bab “Apakah Ukiran Cincin Dijadikan Tiga Baris” akan di sebutkan dari hadist Anas sama sepertinya, “Ketika Utsman sedang duduk di sumur Aris.” Ibnu Sa’ad menambahkan melalui sanad yang di gunakan Imam Bukhari, (Kemudian cincin itu berada di tangan Utsman selama enam tahun). Dalam hadist Ibnu Umar yang di kutip Abu Daud dan An-Nasa’i melalui Al Mughirah bin Ziyad, dari Nafi’, terdapat tambahan di bagian akhir dari Ibnu Umar, (Utsman membuat cincin dan mengukir padanya ‘Muhammad Rasulullah’ maka beliau pun membuat cap dengannya atau menggunakannya sebagai cincin). Ia memiliki pendukung dari riwayat mursal Ali bin Al Husain yang di kutip Ibnu Sa’ad dalam kitab Ath-Thabaqat. Kemudian dalam riwayat Ayyub bin Musa, Nafi’ yang di kutip imam Muslim sama seperti hadist Ubaidillah bin Umar dari Nafi’ hingga kalimat, (Beliau menjadikan mata cincin itu ke arah telapak tangannya), lalu di sebukan, (Inilah yang terjatuh dari Mu’aiqib di sumur Aris). Hal ini menunjukkan penisbatan jatuhnya cincin itu kepada Utsman dalam konteks majaz atau sebaliknya. Ia menunjukkan juga bahwa Utsman meminta cincin itu dari Mu’aiqib, lalu di gunakan sebagai cap dan terus mempermainkan di tangannya sementara dia memikirkan suatu hal. Akhirnya, cincin itu jatuh ke sumur. Namun, versi pertama sesuai dengan hadist Anas. An-Nasa’i meriwayatkan hadist ini dari Al Mughirah bin Ziyad dar Nafi’ (dan berada di tangan Utsman selama enam tahun dari masa pemerintahannya, ketika dia banyak di perbincangkan maka di serahkannya kepada seorang laki-laki Anshar untuk di gunakan sebagai cap (stempel). Lalu laki-laki Anshar itu pergi ke sumur milk Utsman dan cincin itu jatuh. Dia mencarinya, tetapi tidak di temukan).
     (Rasulullah SAW pernah memakai cincin emas, lalu beliau mencampakannya). Demikian di riwayatkan Malik dari Abdullah bin Dinar. Di riwayatkan pula oleh Sufyan Ats-Tsauri dari Abdullah bin Dinar dengan redaksi lebih lengkap dan dia kutip sama seperti riwayat Nafi’ yang sebelumnya dan akan di sebutkan pada pembahasan tentang berpegang teguh kepada Al Qur’an dan sunnah. Serupa dengannya di riwayatkan Ahmad dan An-Nasa’i dari Ismail bin Ja’far dari Abdullah bin Dinar.
     Kedua, hadist Anas bin Malik yang di riwayatkan melalui Yahya bin Bukair, dari Al-Laits, dari Yunus bin Yazid Al Iliy, dari Ibnu Syihab. (Bahwasanya pada suatu hari dia melihat cincin wariq (perak) di tangan Rasulullah SAW, dan orang-orang pun membuat cincin daripada wariq, lalub memakainya, maka Rasulullah SAW membuang cincinnya, dan orang-orang pun membuang cincin mereka). Demikian hadist ini di riwayatkan Az-Zuhri dari Anas ra. Imam Bukhari dan Muslim sepakat mengutipnya melalui jalurnya, lalu di anggap sebagai satu kekeliruan, sebab yang terkenal, cincin yang di buang Nabi SAW karena orang-orang membuat yang sepertinya, adalah cincin emas seperti di tegaskan pada hadist Ibnu Umar. An-Nawawi berkata mengikuti Iyadh, “Semua ahli hadist mengatakan ini adalah kekeliruan dari Ibnu Syihab, sebagai cincin yang di buang itu adalah terbuat dari emas. Namun, sebagian ahli hadist ada yang mewakilkannya seperti yang akan di jelaskan.” Saya (Ibnu Hajar) katakan, kesimpulan jawaban tersebut ada tiga :
     Pertama, jawaban yang di kemukaan Al Ismaili ketika selesai menukil hadist tersebut, “Sekiranya riwayat ini akurat, maka di takwilkan bahwa beliau SAW membuat cincin wariq (perak) dengan warna tertentu, dan beliau tidak suka ada orang lain membuat yang sepertinya. Ketika orang-orang membuat yang sepertinya, maka beliau pun membuangnya hingga orang-orang membuang cincin mereka. Lalu beliau membuat cincin lain seraya memberinya ukiran untuk di jadikan sebagai cap (stempel)
       Kedua, jawaban yang disinyalir oleh Al Ismaili pula, bahwa beliau menjadikannya sebagai hiasan, tetapi ketika orang-orang mengikutinya, maka beliau membuangnya. Ketika beliau SAW membutuhkan cap/stempel, maka beliau membuatnya lagi. Inilah yang di tandaskan, Al Muhibb Ath-Thabari setelah menyebutkan perkataan Al Muhallab yang menurutnya terkesan di paksakan. Dia berkata, “Yang nampak dari keadaan mereka, adalah mereka membuatnya, untuk perhiasaan, maka Nabi SAW membuang cincinnya agar mereka membuangnya juga. Setelah itu Nabi SAW memakainya, karena membutuhkan cap/stempel dan keadaannya terus seperti itu.” Akan di sebutkan jawaban Al Baihaqi mengenai hal itu pada bab “Membuat Cincin”.
       Ketiga, Ibnu Baththal berkata, “Ibnu Syihab menyelisihi riwayat Qatadah, Tsabit, dan Abdurrahman bin Shuhaib, tentang keberadaan cincin itu dari perak dan terus berada di tangan Nabi SAW, lalu di jadikan cap oleh para khalifah sesudahnya. Maka yang harus di jadikan pegangan adalah riwayat mayoritas. Meski Az-Zuhri telah melakukan kekeliruan, tetapi Al Muhallab mengatakan, bisa saja riwayat Ibnu Syihab di beri penjelasan yang menafikan kesalahan darinya, meskipun anggapannya keliru dalam masalah ini cukup jelas. Penjelasan yang di maksud adalah ketika beliau SAW bertekad membuang cincin emas, maka beliau membuat cincin perak, karena beliau sangat membutuhkan cap/stempel untuk surat-surat yang di kirim kepada para raja, pemimpin-pemimpin pasukan, dan petugas-petugas di daerah-daerah. Ketika beliau memakai cincin perak, maka orang-orang pun ingin membuat yang sepertinya. Saat itulah beliau SAW membuang cincin emas dan orang-orang juga membuang cincin emas mereka.
     Saya (Ibnu Hajar) katakan, kelemahan jawaban ini sangat jelas. Adapun yang di katakan Al Ismaili lebih bisa di terima, meski tidak luput dari kritikan, karena konsekuensinya Nabi SAW membuat cincin perak dua kali. Iyadh menukil pernyataan serupa dengan perkataan Ibnu Baththal.      Dia berkata, “Sebagian mereka mengatakan hal itu mungkin di padukan bahwa ketika beliau bertekad mengharamkan cincin emas, beliaupun membuat cincin perak. Ketika beliau memakainya, beliau memperlihatkannya kepada orang-orang pada hari itu, agar mereka mengetahui pembolehannya, lalu beliau membuang cincin emas seraya memberitahukan kepada mereka pengharamannya, maka orang-orang membuang cincin emas mereka. Dengan demikian, maksud kalimat, “Beliau SAW membuang cincinnya dan merekapun membuang cincin mereka”, adalah cincin yang terbuat dari emas.
     Kesimpulannya, jawaban ini memahami cincin pada kalimat, “Beliau membuang cincinnya dan merekapun membuang cincin mereka” yaitu cincin emas, meski hal ini tidak di sebutkan pada kalimat sebelumnya.
     Iyadh berkata, “Pandangan ini bisa di terima sekiranya riwayat itu di sebutkan secara global.” Selanjutnya, Iyadh mengisyaratkan bahwa riwayat Ibnu Syihab tidak menerima pandangan tersebut. Adapun An-Nawawi menyetujui pandangan ini seraya berkata, “Ini adalah penakwilan yang benar. Dalam hadist tersebut tidak ada hal yang menolaknya.” Dia berkata pula, “Adapun kalimat, ‘Orang-orang membuat cincin dari perak dan memakainya’, lalu kalimat ‘Beliau SAW membuang cincinnya, maka mereka pun melemparkan cincin mereka’, mungkin ketika mereka mengetahui Nabi SAW akan membuat cincin perak untuk dirinya, mereka juga membuat cincin perak untuk diri mereka, tetapi masih ada cincin emas pada Nabi SAW. Hingga Nabi SAW menggantinya dengan cincin perak, lalu membuang cincin emas. Saat itu, para sahabat juga mengganti cincin mereka dan membuang cincin emas.”
     Al Karmani mendukung pandangan ini dengan mengatakan bahwa dalam hadist itu tidak ada keterangan yang menyebutkan cincin yang di buat tersebut adalah dari perak. Bahkan cincin yang di buang di sebutkan secara mutlak. Oleh karena itu, di pahami sebagai cincin emas atau cincin yang di ukir seperti ukiran cincin beliau SAW. Dia berkata, “Ketika riwayat yang ada dapat dikompromikan, maka tidak boleh menimpakan kesalahan pada periwayat.”
     Saya (Ibnu Hajar) katakan, di sana ada kemungkinan ke empat yang tidak mengandung perubahan maupun penambahan, yaitu beliau SAW menggunakan cincin emas untuk perhiasan. Ketika orang-orang mengikutinya dan bertepatan turun pengharaman emas, maka beliau membuangnnya seraya bersabda, “Aku tidak akan memakainya selamanya”, orang-orang pun ikut membuang cincin mereka. Lalu di tegaskan larangan memakai cincin emas seperti telah di sebutkan pada bab terdahulu. Setelah itu, beliau membutuhkan cincin untuk di jadikan sebagai cap/stempel, maka beliau membuat cincin perak dan di ukir dengan namanya. Namun, orang-orangpun mengikutinya, sehingga beliau kembali membuangnya agar orang-orang membuang cincin mereka yang berukiran nama beliau. Ketika cincin-cincin lain sudah di buang, maka beliau memakai kembali cincinnya untuk di gunakan sebagai cap/stempel. Hal ini di isyaratkan oleh perkataan beliau SAW dalam riwayat Abdul Aziz bin Shuhaib, dari Anas seperti akan di sebutkan pada bab “Cincin di jari kelingking” dengan redaksi, (sesungguhnya kami membuat cincin dan mengukir ukiran padanya dan jangan seorangpun mengukir di atasnya). Barangkali sebagian orang munafik yang tidak mendengar larangan atau sebagian yang telah mendengar larangan, belum tertanam keimanan dalam hatinya, mereka tetap membuat ukiran seperti ukiran cincin beliau SAW, dan ketika hal ini terjadi maka beliau membuang cincinnya karena marah terhadap mereka yang menyerupainya. Hal ini sudah di sinyalir oleh Al Karmani dengan sangat ringkas.
     Perkataan Az-Zuhri dalam riwayatnya, “Sesungguhnya pada suatu hari dia melihat cincin di tangan Nabi SAW”, tidaklah menafikan penjelasaan di atas. Ia tidak pula bertentangan dengan perkataannya di bab sesudahnya dalam riwayat Humaid, (Anas di tanya, “Apakah Nabi SAW menggunakan cincin?” Beliau berkata, “Beliau pernah mengakhiri shalat isya’, maka se akan-akan aku melihat kilauan cincinnya”.), karena di pahami bahwa Anas melihatnya pada malam itu hingga ke esokan harinya, lalu beliau membuangnya pada akhir hari itu juga.
     Mengenai riwayat An-Nasa’i dari jalur Al Mughirah bin Ziyad, dan Nafi’, dari Ibnu Umar, (Nabi SAW membuat cincin emas, lalu memakainya tiga hari), di kompromikan dengan hadist Anas dengan menempuh dengan salah satu di antara dua cara. Jika kita tanyakan pertanyaan Az-Zuhri pada hadist Anas, “Cincin dari perak” adalah kesalahan, dan yang benar adalah “dari emas” maka lafaz ‘satu hari’ merupakan waktu Anas melihat, bukan lama beliau SAW memakainya. Sementara perkataan Ibnu Umar “tiga hari” adalah keterangan tentang lama waktu beliau memakai cincin tersebut. Namun, jika kita mengatakan tidak ada ke salahan dan di kompromikan sebagaimana terdahulu, maka lama waktu beliau memakai cincin emas adalah tiga hari (seperti pada hadist Ibnu Umar), dan lama waktu memakai cincin perak yang pertama kali adalah satu hari, seperti pada hadist Anas, kemudian ketika orang-orang melemparkan cincin mereka yang berukir seperti ukiran cincin beliau SAW, maka beliau kembali memakai cincin perak hingga wafat.
     (Ibnu Musafir berkata dari Az-Zuhri, “Aku melihat cincin perak”). Riwayat mu’allaq ini tidak saya (Ibnu Hajar) lihat dalam naskah sumber dari catatan Abu Dzar. Namun, ia tercantum dalam riwayat selainnya kecuali An-Nasafi. Masalah ini sudah di isyaratkan juga oleh Abu Daud.
     Pada kedua hadist di bab ini terdapat keterangan tentang sikap para sahabat yang segera mengikuti perbuatan Nabi SAW. Apa yang di setujui oleh Nabi SAW, maka mereka teruskan, dan yang di ingkari, mereka hentikan. Sementara dalam hadist Ibnu Umar terdapat keterangan bahwa beliau tidak di warisi, karena tidak di warisi tentu cincinnya akan di serahkan kepada ahli warisnya. Demikian di katakan oleh Imam An-Nawawi. Namun, pernyataan ini perlu di tinjau kembali, sebab mungkin cincin itu di buat dari harta karun muslimin. Oleh karena itu, ia berpindah kepada Imam (pemimpin) untuk di manfaatkan sesuai tujuan pembuatannya. Pada hadist ini terdapat juga keterangan tentang memelihara cincin yang di gunakan sebagai cap (stempel) di tangan orang yang dapat di percaya jika di lepaskan oleh pemimpin dari tangannya. Hadist ini juga menjelaskan bahwa harta yang sedikit tidak boleh di abaikan jika berasal dari orang yang baik-baik sebagaimana yang akan di jelaskan. Hadist ini menjelaskan bahwa bersikap ceroboh dalam taraf yang minim ketika berfikir tidak di anggap sebagai aib.[7]



C.     Pendapat Saya
Menurut Syeikh Manshur Ali Nashif Al Husaini saya sependapat dengan beliau karena beliau memberitahukan kepada orang-orang bahwa apabila ada yang memakai cincin yaitu perak maka jangan lebih dari satu mitsqal yang sudah di perintahkan oleh Nabi SAW. Sedangkan menurut K.H. Adib Bisri Musthofa saya kurang memahami apa yang ada di pembahasan beliau karena sedikit dan beliau mengatakan bahwa tidak boleh memakai cincin di tangan kanan tetapi di tangan kiri. Sedangkan Ibnu Hajar Al-Asqalani saya sangat setuju karena pembahasan beliau mengenai cincin perak ini sudah sangat jelas dan pembahasannya pun sangat banyak sehingga sangat jelas dan cincin tersebut juga di gunakan sebagai cap/stempel dan sampai cincin tersebut jatuh ke dalam sumur Aris.













BAB III
PENUTUP


Simpulan
Pada hadist di bab ini terdapat keterangan tentang sikap para sahabat yang segera mengikuti perbuatan Nabi SAW. Apa yang di setujui oleh Nabi SAW, maka mereka teruskan, dan yang di ingkari, mereka hentikan. Sementara dalam hadist Ibnu Umar terdapat keterangan bahwa beliau tidak di warisi, karena tidak di warisi tentu cincinnya akan di serahkan kepada ahli warisnya. Demikian di katakan oleh Imam An-Nawawi. Namun, pernyataan ini perlu di tinjau kembali, sebab mungkin cincin itu di buat dari harta karun muslimin. Oleh karena itu, ia berpindah kepada Imam (pemimpin) untuk di manfaatkan sesuai tujuan pembuatannya. Pada hadist ini terdapat juga keterangan tentang memelihara cincin yang di gunakan sebagai cap (stempel) di tangan orang yang dapat di percaya jika di lepaskan oleh pemimpin dari tangannya. Hadist ini juga menjelaskan bahwa harta yang sedikit tidak boleh di abaikan jika berasal dari orang yang baik-baik sebagaimana yang akan di jelaskan. Hadist ini menjelaskan bahwa bersikap ceroboh dalam taraf yang minim ketika berfikir tidak di anggap sebagai aib.








DAFTAR PUSTAKA



Fuady, M.Noor & H.Abidin Ja’far LC. 2006. Hadist Nabawi, Banjarmain :
      Antasari Press.
Al-Jazari, Abdurrahman. 2000. Fiqh Empat Mazhab, Cairo: Darul Ulum Press.
1995. Al Lu’lu Wal Marjan 2, Surabaya: PT.Bina Ilmu.
Al-Albani, Muhammad Nashiruddin. 2006. Shahih Sunan Tirmidzi, Jakarta: Buku
      Islam Rahmatan.
Al Husaini, Syeikh Manshur Ali Nashif. 1994. At Taaj Al Jaami’ Lil Ushuli Fii
       Ahaadiitsir Rasuuli, Semarang : CV. Asy Syifa.
Musthofa, K.H. adib Bisri. 1993. Tarjamah Shahih Muslim, Semarang : AsySyifa.
Al-Asqalani, Ibnu Hajar. 2008.  fathul Baari, Jakarssta : Pustaka Azzam.


[1] Drs.H.Abidin Ja’far LC.MA, M.Noor Fuady, M.Ag, Hadist Nabawi, Banjarmain: Antasari Press,
   2006, h 70.
[2] Abdurrahman Al-Jazari, Fiqh Empat Mazhab, Cairo:Darul Ulum Press, 2000, h 22-26.
[3] Al Lu’lu Wal Marjan 2, Surabaya: PT.Bina Ilmu, 1995, h 798-800.
[4] Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Shahih Sunan Tirmidzi, Jakarta:Buku Islam Rahmatan,
  2006, h 408.
[5] Syeikh Manshur Ali Nashif Al Husaini, At Taaj Al Jaami’ Lil Ushuli Fii Ahaadiitsir Rasuuli,
   Semarang:CV. Asy Syifa, 1994 h 323- 329.
[6] K.H. adib Bisri Musthofa, Tarjamah Shahih Muslim, Semarang:Asy-Syifa, 1993, h 890-891.
[7] Ibnu Hajar Al Asqalani, fathul Baari, Jakarta:pustaka Azzam, 2008, h 690-700.

1 komentar: