BAB II
PEMBAHASAN
BAGAIMANA JIKA WANITA SEBAGAI PEMIMPIN
A. WANITA SEBAGAI PEMIMPIN
Para ahli Tafsir mengatakan bahwa qawwam berarti seorang pemimpin, pelindung, penanggung jawab, pendidik, pengatur, dan lain-lain semakna. Selanjutnya, mereka mengatakan bahwa kelebihan yang dimiliki laki-laki atas perempuan adalah karena keunggulan akal dan fisiknya.
Suatu hadits menyatakan yang artinya:
“Tidak akan berbahagia / berjaya suatu kaum yang menyerahkan urusan mereka kepada wanita (mengangkat wanita sebagai pemimpin) .”
1. DERAJAT HADITS
Hadits ini dikeluarkan oleh:
- Imam Al-Bukhari dalam kitab Shahihnya di dua tempat. Kitabul Maghazi bab Kitab An-Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ila Kisra wa Qaisar no. 4425 dan Kitabul Fitan no. 7099.
- Imam Abu Isa At-Tirmidzi dalam Sunannya, Kitabul Fitan no. 2262 dan beliau menyatakan: “Hadits ini hasan shahih.”
- Imam An-Nasa`i dalam Sunannya, Kitab Adabil Qudlat bab An-Nahyu ‘an Isti’malin Nisa fi Hukmi no. 2/305 no. 5403.
- Al-Hakim dalam Mustadraknya, Kitabul Fitan wal Malahim 4/570 no. 8599 dan beliau menyatakan: “Hadits ini sanadnya shahih dan keduanya (Bukhari dan Muslim) tidak mengeluarkannya.”
- Imam Al-Baihaqi dalam As-Sunan Al-Kubra, bab La Yuwalli Al-Wali Imra`atan wala Fasiqan wala Jahilan Amral Qadla, Kitab Adabul Qadli, 10/201 no. 20362.
- Imam Al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah, Kitabul Imarah wal Qadla, bab Karahiyatu Tauliyatin Nisa 6/60 no. 2486. Kata beliau: “Hadits shahih.”
- Al-Khatib At-Tibrizi dalam Misykatul Mashabih, Kitabul Umarah wal Qadla pasal pertama 2/1091 no. 3693.
- Al-Imam As-Suyuthi dalam Jami’us Shaghir, lihat Faidlul Qadir karya Al-Munawi 5/386 no. 7393 dan beliau (Suyuthi) memberi kode: “Shahih.”
Dari berbagai jalan dari Al-Hasan dari Abi Bakrah radliyallahu ‘anhu, beliau menceritakan:
لَقَدْ نَفَعَنِيَ اللهُ بِكَلِمَةٍ سَمِعْتُهَا مِنْ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم أَيَّامَ الْجَمَلِ بَعْدَ مَا كِدْتُ أَنْ أَلْحَقَ بِأَصْحَابِ الجَمَلِ فَأُقَاتِلَ مَعَهُمْ. قَالَ: لَمَّا بَلَغَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم أَنَّ أَهْلَ فَارِسٍ قَدْ مَلَّكُوا عَلَيْهِمْ بِنْتَ كِسْرَى. قَالَ: (فَذَكَرَ الْحَدِيْثَ
“Sungguh Allah telah memberi aku manfaat dengan satu kalimat yang aku dengar dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada hari perang Jamal, setelah hampir saja aku bergabung dengan Ashabul Jamal (Aisyah dan orang-orang yang bersamanya, pent) dan berperang bersama mereka.” Beliau (Abu Bakrah) berkata: “Tatkala sampai (khabar) kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa penduduk Persia menobatkan putri Kisra sebagai ratu mereka, beliau bersabda: (lalu beliau menyebutkan hadits di atas).”
Asy-Syaikh Al-Muhaddits Muhammad Nashiruddin Al-Albani berkata dalam kitabnya (Irwaul Ghalil 8/109 no. 2456): “Al-Hasan tersebut adalah Al-Bashri. Ia mudallis (orang yang suka menyamarkan perawi sebuah hadits, pent) dan dia meriwayatkan hadits ini secara mu’an’an (dengan menggunakan lafadh ‘an yang artinya “dari”, pent)[1]pada semua jalan yang tersebut (dalam referensi) di atas. Namun hadits ini memiliki jalan lain dari Abi Bakrah yang dikeluarkan oleh Imam Ahmad 5/38 & 47 melalui jalan ‘Uyainah: Telah menceritakan kepadaku dari ayahku dari Abi Bakrah dengan lafadh:
لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ أَسْنَدُوْا أَمْرَهُمْ اِمْرَأَةً
“Tidak akan bahagia / jaya suatu kaum yang menyandarkan urusan mereka kepada seorang wanita.”
Saya (Al-Albani) berkata: “Sanadnya jayyid (bagus). ‘Uyainah adalah putra Abdurrahman bin Jausyan. Dia seorang tsiqah (terpercaya), demikian pula ayahnya.”
Oleh karena itulah beliau menshahihkan hadits ini dalam Al-Irwa` 8/109 no. 2456 dan 8/235 no. 2613, Shahihul Jami’ no. 5225, Shahih Sunan At-Tirmidzi no. 1847 dan Shahih Sunan An-Nasa`i no. 4981.
Sehingga secara ilmu hadits, riwayat hadits ini derajatnya shahih dan dapat dijadikan sebagai dalil atau hujjah.
Adapun pernyataan Prof Dr. Nurcholis Majid dalam makalahnya yang dimuat di Harian Jawa Pos terbitan Minggu Pahing 8 November 1998 halaman 1:
“Hukum agama (Islam) tidak secara tegas mengatur boleh tidaknya wanita menjadi kepala negara atau kepala pemerintahan….”
Dia juga menyatakan:
“Memang ada hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menganjurkan jabatan kepala negara atau kepala pemerintahan semestinya dijabat oleh pria, meski begitu hadits-hadits tersebut lemah.”
Dan insya Allah yang dia maksud adalah hadits yang sedang kita bahas, maka kita katakan:
Lihatlah pernyataan yang dilontarkan oleh seseorang yang disebut-sebut sebagai tokoh “cendekiawan muslim”. Ucapan yang dilontarkan di saat musuh-musuh rakyat sedang berupaya menghancurkan bangsa Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam, dengan mendukung seorang wanita sebagai kepala negara. Pernyataan di atas tidak keluar dari dua kemungkinan:
1. Pernyataan tersebut dilontarkan oleh seorang yang jahil (bodoh) yang sama sekali tidak mengerti kaidah ilmu hadits dalam masalah tashhih (menshahihkan) dan tadl’if (melemahkan) sehingga orang tersebut perlu diajari sampai dia mengerti. Dan sungguh naif orang seperti ini disebut cendekiawan / tokoh muslim, apalagi ulama.
2. Pernyataan tersebut dilontarkan oleh shahibul hawa (pengekor hawa nafsu) yang mempunyai misi dan tujuan untuk membikin makar terhadap kaum muslimin. Maka kita harus memperingatkan umat dari bahaya pemikirannya.
Kalaulah kita mencermati sepak terjangnya dalam dunia keislaman, dengan pemikiran dan pernyataan-pernyataannya yang menyimpang, maka kedua kemungkinan di atas ada pada dia, sekalipun yang kedua lebih menonjol. Wallahu musta’an.
Sangatlah disayangkan pada jaman modern seperti sekarang ini atau yang biasa disebut era globalisasi, masih banyak kaum muslimin yang tidak menjadikan hadits tersebut di atas sebagai dasar, dalil / hujjah dengan alasan kuno yang sudah lama dilontarkan rasionalis sesat yang berkiblat kepada orang kafir dari Yunani kuno, yaitu alasan bahwa hadits tersebut adalah ahad (diriwayatkan oleh satu orang), seperti pernyataan seorang Wahyuni Widyaningsih, manajer kajian pada ‘Elsad, Surabaya dalam tulisannya yang berjudul “Presiden Perempuan di mata Islam”, dimuat di Jawa Pos senin legi 2 November 1998 di halaman 4. Atau orang-orang yang sepaham dengan dia.
Pemikiran tersebut menyimpang karena pemikiran seperti ini pada kenyataannya menyalahi prinsip Islam itu sendiri. Al-Qur`an dan Al-Hadits dan kesepakatan para ulama Islam yang diakui keilmuannya telah menunjukkan bahwa semua hadits shahih yang datang dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam baik itu ahad ataupun mutawatir wajib diterima, baik yang berbicara masalah aqidah maupun hukum-hukum syariat, dan hadits-hadits tersebut dapat dijadikan dasar hukum. Apabila ada seseorang yang menyelisihi kesepakatan ini, maka dia telah mengadakan perkara baru (membuat bid’ah, ed) dalam masalah agama. Lihat penjelasan Imam Asy-Syafi’i tentang masalah ini dalam kitabnya Ar-Risalah halaman 401 – 453 dan Al-Muhaddits Muhammad Nashiruddin Al-Albani dalam kitabnya Al-Hadits Hujjatun bi Nafsihi fil Aqa’id wal Ahkam halaman 51-72.
Kita katakan: Sebab penuturan hadits di atas memang seperti yang telah dijelaskan. Namun kalau kita lebih mencermati riwayat-riwayat hadits ini dalam referensi yang telah kita cantumkan di awal, maka kita akan mendapatkan kejelasan bahwa hadits ini tidak kasuistik atau menunjukkan konteks tertentu, dalam hal ini adalah penduduk Persia. Buktinya, sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas dijadikan dasar oleh Abu Bakrah radhiyallahu ‘anhu untuk tidak bergabung dengan pasukan yang dipimpin oleh Aisyah radhiyallahu ‘anha dalam perang Jamal. Bahkan hadits ini dijadikan pedoman untuk menilai kedua belah pihak (pasukan Ali bin Abi Thalib dan pasukan Aisyah).
Al-Hafidh Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam kitabnya Fathul Bari 13/60 setelah membawakan hadits di atas menyatakan: “Al-Ismaili menambahkan di akhir hadits dari jalan An-Nadlr bin Syumail dari Auf bahwa Abu Bakrah menyatakan:
فَعَرَفْتُ أَنَّ أَصْحَابَ الْجَمَلِ لَنْ يُفْلِحُوا
“Maka saya tahu bahwa ashabul jamal (Aisyah dan tentaranya) tidak akan jaya / menang.” (Lihat Irsyadul Sari 5/49 oleh Al-Qasythalani)
Pernyataan beliau radhiyallahu ‘anhu bukan karena ada tendensi politik seperti yang dikatakan saudari Wahyuni Widyaningsih, namun murni semata-mata menyampaikan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kita katakan demikian karena beliau salah satu shahabat Rasul, sedangkan para ulama telah sepakat bahwa semua shahabat adalah ‘udul (adil). Ini juga menunjukkan pemahaman beliau terhadap hadits tersebut.
Pernyataan beliau juga tidak berarti menghina atau meremehkan kemampuan Aisyah radhiyallahu ‘anha. Ibnu Bathal menukilkan dari Al-Muhallab, beliau menjelaskan:
“Dhahir hadits Abu Bakrah terkesan meremehkan pendapat Aisyah dalam perbuatan yang ia lakukan, padahal tidaklah demikian. Karena menurut pendapat yang masyhur, Abu Bakrah pada dasarnya sependapat dengan Aisyah, yaitu ingin mengadakan perdamaian di kalangan massa dan tidak bermaksud untuk berperang. Namun tatkala api perang telah menyala, orang-orang yang bersama Aisyah mau tidak mau harus ikut berperang. Abu Bakrah sendiri tidak ruju’ dari pendapat semula. Hanya saja beliau mendapatkan firasat bahwa mereka akan kalah karena mereka dipimpin oleh Aisyah tatkala beliau ingat sabda Rasul tentang bangsa Persia…”
Pernyataan beliau ini justru menunjukkan bahwa faktor penentu utama bagi posisi kepala negara adalah gender, bukan semata-mata integritas, kemampuan dan dukungan masyarakat. Karena kita semua sepakat bahwa Aisyah memiliki kemampuan dan pada waktu itu mendapat dukungan dari sebagian shahabat Rasul. Wallahu a’lam.
Dari sinilah kita kembali kepada kaidah masyhur yang telah disepakati oleh para ulama:
الْعِبْرَةُ بِعُمُوْمِ اللَّفْظِ لاَ بِخُصُوْصِ السَّبَبِ
“Yang menjadi patokan pengambilan suatu hukum adalah pengertian umum dari suatu kata, dan bukan pada konteks atau sebabnya yang spesifik.”
Juga ada kaidah ushul fiqh:
إِذَا وَقَعَتِ النَّكِرَةُ فِي سِيَاقِ النَّفْيِ أَوْ النَّهْيِ أَوِ الشَّرْطِ أَوِ اْلإِسْتِفْهَامِ دَلَّتْ عَلَى الْعُمُوْم
“Apabila isim nakirah terletak setelah teks nafi (peniadaan) atau nahi (larangan) atau syarat atau istifham (pertanyaan), maka ia menunjukkan makna umum.” (Lihat Al-Qawaidul Lisan li Tafsiril Qur`an [masuk bagian Tafsir As-Sa`di] 5/472 dan Al-Ushul min ‘Ilmil Ushul hal. 23 oleh Syaikh Ibnu Utsaimin)
Lafadh hadits di atas sesuai dengan kaidah tersebut dimana kata qaumun قوم sebagai isim nakirah jatuh setelah teks nafi yaitu lan yuflih لن يفلح, maka hadits tersebut di atas menunjukkan pengertian umum.
2. PENJELASAN HADITS
Hadits di atas dijadikan dasar para ulama untuk melarang seorang wanita memangku jabatan sebagai kepala negara. Berikut ini akan saya nukilkan keterangan ulama berbagai madzhab tentang hadits di atas:
- Ibnu Hazm Adh-Dhahiri dalam kitabnya Al-Fashl 4/110 menyatakan: “Seluruh golongan Ahli kiblat (muslimin), tidak ada seorang pun dari mereka yang memperbolehkan kepemimpinan seorang wanita.” (Lihat Al-Imamatul ‘Udhma hal. 246).
- Ibnu Qudamah Al-Maqdisi dalam kitab Al-Mughni 10/92 menjelaskan alasan seorang wanita tidak boleh menjadi hakim atau pemimpin:
“…karena seorang hakim (qadli) harus menghadiri tempat pengadilan dan perkumpulan lelaki dan membutuhkan pandangan yang tajam serta kecerdasan akal yang sempurna. Sementara wanita adalah makhluk yang kurang akalnya, dangkal pandangan pemikirannya, tidak boleh hadir pada perkumpulan kaum lelaki dan tidak diterima persaksiannya (dalam pengadilan) sekalipun 1000 (seribu) wanita selama tidak ada laki-laki (yang ikut jadi saksi). Allah telah mengingatkan sifat pelupa mereka dalam firman-Nya:
أَنْ تَضِلَّ إِحْدَاهُمَا فَتُذَكِّرَ إِحْدَاهُمَا الأُخْرَى
“…supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya….” (Al-Baqarah: 282)
Seorang wanita tidak layak memangku jabatan kepemimpinan tertinggi dan tidak pula mengatur sebuah negara. Oleh karena itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, para khalifahnya dan para ulama yang datang sepeninggal beliau tidak pernah mengangkat seorang wanita sebagai hakim atau mengatur sebuah wilayah di suatu negara. Menurut berita yang sampai kepada kami, kalaulah boleh, maka tidak akan kosong seluruh masa dari kepemimpinan wanita….”
- Abu Muhammad Al-Husain bin Mas’ud Al-Baghawi dalam kitabnya Syarhus Sunnah 6/60 menjelaskan:
“(Para ulama) sepakat bahwa seorang wanita tidak boleh menjadi pemimpin dan hakim (qadli) karena seorang imam (pemimpin) perlu keluar untuk mengurusi permasalahan jihad (perang) dan urusan kaum muslimin. Sementara seorang hakim harus keluar untuk memutuskan berbagai permasalahan. Sedangkan wanita adalah aurat, tidak boleh keluar (dari rumahnya). Wanita sering kali tidak mampu mengurusi banyak perkara karena kelemahannya dan dikarenakan wanita itu kurang (agama dan akalnya). Padahal kepemimpinan dan kehakiman itu adalah jabatan yang sempurna , tidak boleh dijabat kecuali oleh kaum lelaki yang sempurna….”
- Abu Bakar Ibnul ‘Arabi Al-Maliki dalam kitabnya Aridlatul Ahwadzi juz 9/119 setelah membawakan hadits ini menjelaskan:
“Hadits ini menunjukkan bahwa kepemimpinan itu adalah hak lelaki. Tidak ada celah bagi wanita dalam masalah ini menurut kesepakatan (ulama, pent).”
- Muhammad Abdurra’uf Al-Munawi dalam kitabnya Faidhul Qadir 5/386 setelah menyebutkan hadits ini menyatakan:
“…yang demikian itu karena kekurangan yang ada pada seorang (wanita) dan kelemahan pandangannya (rasionya), juga karena seorang pemimpin dituntut untuk keluar mengurusi problem rakyat. Sedangkan seorang wanit adalah aurat yang tidak mungkin keluar melakukan tugas seperti itu. Maka ia tidak sah menjadi seorang pemimpin dan hakim.”
- At-Thibi menjelaskan:
“Hadits ini menyandarkan ketidakbahagiaan, ketidakjayaan bangsa Persia secara ta’kid (penekanan) dan pada hadits ini ada isyarat bahwa kejayaan milik bangsa Arab, sehingga berita ini merupakan mu’jizat.”
- Imam As-Shan’ani dalam Subulus Salam Kitabul Qadla 4/229 menjelaskan hadits ini:
“Di dalam hadits ini ada dalil yang menunjukkan tidak bolehnya seorang wanita memimpin sesuatu pun dari hukum-hukum yang bersifat umum di kalangan muslimin….”
Beliau juga menegaskan:
“Hadits ini mengabarkan tentang ketidakjayaan suatu kaum yang mengangkat wanita sebagai pemimpin. Sedangkan kita dilarang melakukan sesuatu yang mengakibatkan ketidakjayaan / ketidakbahagiaan pada diri kita dan diperintahkan untuk berupaya mengerjakan sesuatu yang membawa kepada kebahagiaan dan kejayaan.”
- Imam Asy-Syaukani dalam kitabnya Nailul Authar juz 8/272 bab Al-Mu`min Wilayatil Mar`ati was Shabiyi wa Man La Yuhsinul Qadla menerangkan:
“Pada hadits ini terdapat dalil yang menunjukkan bahwa seorang wanita bukanlah orang yang pantas dan berhak menjadi pemimpin. Bahkan tidak halal bagi suatu kaum mengangkat seorang wanita sebagai pemimpin. Sedangkan menjauhkan diri dari perkara yang membawa kepada ketidakbahagiaan adalah wajib.”
- Dalam kitabnya yang lain yaitu As-Sailul Jarar 4/505 ketika berbicara tentang syarat seorang pemimpin harus pria, beliau menjabarkan:
“…Alasannya adalah karena kaum wanita adalah orang yang kurang akal[2] dan agamanya sebagaimana yang disabdakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Orang yang seperti itu keadaannya, tentu saja sangat tidak pantas mengurusi problem umat. Oleh sebab itulah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam sebuah hadits yang shahih:
لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهُمْ اِمْرَأَةً
“Tidak akan jaya suatu kaum yang dipimpin oleh seorang wanita.”
- Al-’Allamah Muhammad Amin Asy-Syinqithi dalam Adlwaul Bayan 1/52 menjelaskan:
“Termasuk syarat kepala negara adalah dia seorang pria. Tidak ada ikhtilaf dalam masalah ini di kalangan para ulama. Dalilnya adalah hadits yang terdapat dalam Shahih Bukhari dan yang lainnya dari hadits Abi Bakrah bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tatkala sampai pada beliau kabar bahwa penduduk Persia menobatkan putri Kisra sebagai ratu (kepala negara), beliau bersabda: (hadits di atas).”
- Shafiyur Rahman Al-Mubarak Furi dalam Ithaful Kiram hal. 417-418 menerangkan:
“Hadits ini umum mencakup semua kepemimpinan dalam suatu pemerintahan sampai jabatan terkecil sekalipun, walaupun hadits ini disabdakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tatkala sampai berita bahwa penduduk Persia mengangkat putri Kisra sebagai pemimpin (kepala negara) mereka…”
- Abdullah bin Abdurrahman Al-Bassam dalam Taudhihul Ahkam 6/142 juga menjelaskan:
“Hadits ini secara tegas menyatakan tidak sahnya kepemimpinan seorang wanita, dan suatu masyarakat atau bangsa yang mengangkat seorang wanita sebagai pemimpin tidak akan bahagia, baik dalam urusan duniawi maupun urusan ukhrawi. Ini adalah pendapat jumhur ulama, di antaranya adalah tiga imam madzhab di kalangan Ahlus Sunnah wal Jamaah yaitu Malik, Asy-Syafi’i dan Ahmad.”
- Sementara Abu Hanifah berpendapat boleh mengangkat wanita sebagai pemimpin dalam masalah hukum kecuali hukum-hukum had. Namun pendapat ini bertentangan dengan nash dalil dan fitrah Rabbani…. “Sekalipun dia (wanita) memiliki kekuatan dan mendapat dukungan masyarakat, tetap mereka tidak akan bahagia / jaya dalam urusan duniawi maupun urusan agama. Wallahul musta’an.” (Lihat kembali ucapan ulama tentang Abu Hanifah pada edisi 29 majalah Salafy)
Demikian penjelasan para ulama jaman dahulu maupun sekarang tentang hadits ini atau permasalahan yang dibahas dalam hadits ini. Semuanya menjelaskan tidak bolehnya wanita menjadi pemimpin. Hujjah mereka kita susun sebagai berikut:
1. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala yang tersebut dalam surat An-Nisa 34:
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita. Oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita). Dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka….” (An-Nisa: 34).
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita. Oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita). Dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka….” (An-Nisa: 34).
2. Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sedang kita bahas kali ini berikut penjelasan ulama tentangnya.
3. Ijma’, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, para khalifah beliau dan generasi setelah mereka sampai sekarang ini tidak pernah mengangkat wanita sebagai pemimpin. Ini menunjukkan adanya kesepakatan di kalangan mereka (ijma’). Ijma’ (kesepakatan ulama) merupakan argumentasi yang signifikan karena Allah tidak akan mengumpulkan umat ini di atas kesalahan.
Kalau ada yang mengatakan bahwa kaum wanita pada waktu itu tidak ada yang menjabat sebagai pemimpin karena kondisi sosial dan kedudukan wanita yang sangat terpuruk seperti pernyataan Dr. Alwi Shihab dalam tulisan beliau yang berjudul “Memperhatikan Prinsip daripada Label” yang dimuat di Jawa Pos Selasa 17 November 1998, maka kita dapatkan:
1. Kita semua sepakat bahwa syariat yang Allah tetapkan melalui lisan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam telah sempurna. Dijelaskan Rasul melalui sunahnya dan telah dipraktekkan beliau bersama para shahabatnya radliyallahu ‘anhum.
Apa yang dikerjakan Rasul dan para shahabatnya adalah yang terbaik dan membawa kebaikan dunia dan akhirat dan karena itu kita juga ikut mengerjakannya. Apa yang ditinggalkan Rasul dan para shahabatnya (padahal beliau mampu dan mungkin mengerjakannya) adalah jelek, tidak membawa kebaikan kebahagiaan dunia dan akhirat. Dan kita pun harus pula meninggalkannya.
Apabila Rasul memberitahukan tentang suatu perbuatan / amalan yang membawa kepada kebahagiaan dan kejayaan, maka kita harus meyakini kebenaran berita tersebut dan kita berupaya melaksanakan amalan tersebut.
Dan apabila Rasul memberitahukan tentang suatu amalan yang membawa kepada ketidakbahagiaan atau ketidakjayaan, maka kita harus membenarkannya dan kita diperintah untuk menjauhi / meninggalkan hal tersebut. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَمَا ءَاتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا
“Apa saja yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah dia dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkannya….” (Al-Hasyr: 7)
2. Kita semua meyakini bahwa syariat Allah adalah adil, sesuai dengan fitrah dan dapat diterapkan di setiap tempat dan masa. Apa yang Allah dan Rasul-Nya tetapkan, itulah yang terbaik bagi umat ini dan apa yang Allah dan Rasul-Nya larang, itulah yang akan membawa kesengsaraan dan kebinasaan umat ini. Ketetapan ini berlaku bagi semua manusia, baik laki-laki maupun wanita, bangsa Arab maupun non-Arab.
3. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sebuah sabdanya yang masyhur telah memberitakan:
خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُم ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُم
“Sebaik-baik manusia adalah generasiku (shahabat) kemudian yang setelah mereka (tabi’in), kemudian yang setelah mereka (tabi’ut tabi’in)….” (Muttafaqun ‘alaihi, lihat Al-Misykah no. 3767)
Kondisi sosial suatu masyarakat tidak bisa dinilai dengan materi semata, karena kita melihat kenyataan adanya suatu negeri yang baik dari segi materi namun rusak dari segi moral dan keagamaannya sehingga tindak kriminal dan berbagai problem masyarakat menjamur di negeri tersebut. Kebahagiaan dan kejayaan negeri itupun bersifat semu.
Maka sebaik-baik kondisi sosial suatu masyarakat yang pernah ada di dunia ini adalah generasi Nabi beserta para shahabatnya, tabi’in dan tabi’ut tabi’in.
4. Sejarah membuktikan, pada jaman jahiliyah sebelum diutusnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, derajat, harkat, dan martabat kaum wanita diinjak-injak. Mereka dihinakan dan dilecehkan. Hak-hak mereka tidak dipenuhi. Bayi wanita dikubur hidup-hidup dan mereka hanya dijadikan sebagai pemuas hawa nafsu birahi kaum lelaki. Namun setelah diutusnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dengan syariatnya Allah Subhanahu wa Ta’ala, mengangkat derajat kaum wanita, hak-hak mereka dipenuhi, kehormatan mereka dilindungi dan Allah Ta’ala memberikan kepada mereka suatu jabatan mulia sesuai dengan fitrah kewanitaan mereka dan yang membesarkan mereka hingga menjadi generasi Rabbani.
Apabila kaum wanita diberi suatu jabatan yang tidak sesuai dengan fitrah kewanitaannya, bahkan jabatan itu akan membuat mereka kembali kepada jaman jahiliyah, maka berarti hak-hak mereka terinjak-injak, tak terpenuhi dan menentang misi Islam itu sendiri.
Maka pernyataan yang dilontarkan oleh Dr. Alwi Shihab di atas justru mewakili misi orang-orang kafir yang berupaya merusak kehidupan dunia ini dengan mengembalikan kaum wanita seperti jaman jahiliyah dahulu, dipoles dengan nama emansipasi wanita, kebebasan berpikir (tidak jumud) dan berbagai label lainnya.
Pernyataan di atas justru menunjukkan kejumudan cara berpikir Dr. Alwi Shihab yang notabene meniru pemikiran picik rasionalis sesat baik dahulu maupun sekarang. Wallahul musta’an.
3. Kaum wanita adalah aurat, mereka diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya untuk tinggal di rumah demi menjaga kehormatan dan haknya. Mereka tidak boleh keluar rumah ke tempat perkumpulan lelaki kecuali karena terpaksa dan harus dengan mahram.
Allah Ta’ala memerintahkan dengan firman-Nya:
وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلاَ تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الأُولَى
“Dan hendaklah kaum (istri-istri Nabi) tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliyah yang dahulu….” (Al-Ahzab: 33)
5. Kaum wanita adalah makhluk yang kurang dari segi akal dan agamanya, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
مَا رَأَيْتُ مِنْ نَاقِصَاتِ عَقْلٍ وَدِيْنٍ أَذْهَبَ لِلُبِّ الرِّجَالِ الْحَازِمِ مِنْ إِحْدَاكُنَّ، قُلْنَ: وَمَا نُقْصَانُ دِيْنِنَا وَعَقْلِنَا يَا رَسُولُ اللهِ؟ قَالَ: أَلَيْسَ شَهَادَةُ الْمَرْأَةِ مِثْلُ نِصْفَ شَهَادَةِ الرَّجُل؟ قُلْنَ: بَلَى، قَالَ: فَذَلِكَ نُقْصَانُ عَقْلِهَا، أَلَيْسَ إِذَا حَاضَتْ لَمْ تُصَلِّ وَلَمْ تَصُم؟ قُلْنَ: بَلَى، قَالَ: فَذَلِكَ مِنْ نُقْصَانِ دِيْنِهَا
“Aku tidak pernah melihat orang yang kurang akal dan agamanya yang mampu meluluhkan hati seorang laki-laki yang tegas kecuali kalian (kaum wanita).” Mereka (para shahabat wanita) bertanya: “Apa yang menyebabkan kurangnya agama dan akal kami, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab: “Bukankah persaksian wanita seperti setengah persaksian seorang lelaki?” Mereka menjawab: “Ya.” Beliau menjawab: “Maka itulah yang dimaksud kurang akalnya. Bukankah apabila wanita haid, ia tidak shalat dan tidak puasa?” Mereka menjawab: “Ya.” Beliau bersabda: “Itulah yang dimaksud kurang agamanya.” (HSR. Bukhari 364 dan Muslim 79)
6. Syarat utama yang menentukan posisi jabatan kepala negara adalah gender dan para ulama telah sepakat dalam hal ini (yaitu laki-laki), bukan semata-mata kemampuannya, kesediannya ataupun dukungan masyarakatnya.
Syubhat dan Bantahannya
Muhammad Al-Ghazali dalam kitabnya As-Sunnah An-Nabawiyyah baina Ahlil Fiqhi wal Hadits hal. 48-50 (telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Studi Kritis terhadap Hadits menyatakan bahwa:
“Hadits di atas tidak dimaksudkan sebagai prinsip Islam yang mewajibkan pria menjadi kepala negara karena akan bertentangan dengan kandungan Al-Qur`an di surat An-Naml yang memuji kebijakan dan kearifan kerajaan Saba` (Ratu Sheba yang bernama Balqis). Dengan demikian, hadits di atas tidak dapat dijadikan sumber hukum.”
Pernyataan ini juga dinukil dan dilontarkan oleh Dr. Alwi Shihab dalam tulisannya yang dimuat di Jawa Pos Selasa 17 November 1998.
Jawaban dari syubhat di atas sebagai berikut:
1. Kita mempunyai prinsip bahwa Kalamullah (Al-Qur`an) selamanya tidak bertentangan satu sama lain. Demikian pula kita meyakini bahwa sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang shahih, tidak akan bertentangan dengan Kalamullah, bahkan sebagai penjelas dan penerangnya. Allah Ta’ala berfirman:
أَفَلاَ يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْءَانَ وَلَوْ كَانَ مِنْ عِنْدِ غَيْرِ اللَّهِ لَوَجَدُوا فِيهِ اخْتِلاَفًا كَثِيرًا
“Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al-Qur`an? Kalau kiranya Al-Qur`an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.” (An-Nisa: 82)
“Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al-Qur`an? Kalau kiranya Al-Qur`an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.” (An-Nisa: 82)
Bila kita mendapati adanya pertentangan dalam Al-Qur`an, maka kita harus membawa masing-masing ayat kepada makna yang sesuai dengannya (dikompromikan) dan kita tidak boleh membuang atau menolak sebagian ayat dan menerima sebagian yang lain, karena perbuatan tersebut adalah akhlak musyrikin. Allah berfirman:
الَّذِينَ جَعَلُوا الْقُرْءَانَ عِضِينَ
“(Yaitu) orang-orang yang telah menjadikan Al-Qur`an itu terbagi-bagi (yakni menerima sebagian dan menolak sebagian yang lain).” (Al-Hijr: 91)
2. Imam Al-Alusi dalam kitabnya Ruhul Ma’ani 10/185 menjelaskan firman Allah dalam surat An-Naml 23:
إِنِّي وَجَدْتُ امْرَأَةً تَمْلِكُهُمْ وَأُوتِيَتْ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ وَلَهَا عَرْشٌ عَظِيمٌ
“Sesungguhnya aku menjumpai seorang wanita yang memerintahkan mereka, dan dia dianugerahi segala sesuatu serta mempunyai singgasana yang besar.”
“Sesungguhnya aku menjumpai seorang wanita yang memerintahkan mereka, dan dia dianugerahi segala sesuatu serta mempunyai singgasana yang besar.”
Beliau menyatakan:
“Ayat ini tidak menunjukkan kebolehan seorang wanita sebagai ratu (pemimpin negara) dan tidak diperbolehkan berhujjah dengan perbuatan kaum kafir dalam permasalahan (kepemimpinan) ini. Dalam Shahih Bukhari dari Ibnu Abbas[3] bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tatkala menerima berita bahwa penduduk Persia mengangkat putri Kisra sebagai ratu, beliau bersabda: (hadits tersebut di atas).
Imam Al-Baghawi dalam Tafsirnya Ma’alimut Tanzil 3/414 juga menjelaskan ayat di atas dengan membawakan riwayat hadits tersebut.
Bahkan kalaupun terjadi pada masa itu orang-orang dijajah/diperintah seorang wanita maka itu adalah syariat orang sebelum kita contoh seperti ini misalnya; sujudnya keluarga Yusuf kepada nabi Yusuf ‘alaihissalam. Dengan penjelasan para ulama yang telah tersebut di atas dan terbantahnya berbagai syubhat sekitar masalah ini, maka jelas bagi kita bahwa kaum wanita tidak boleh menjadi kepala negara. Inilah prinsip Islam yang harus diyakini para pemeluknya.
Dan kita menasehatkan kepada kaum muslimin dan muslimat agar mereka mengetahui (mengilmui) prinsip agama mereka supaya dengan mantap memeluk dan meyakininya dan jangan sampai mereka terombang-ambing oleh “teriakan” orang-orang yang berupaya mati-matian membikin makar untuk menghancurkan kehidupan bangsa dan negara mereka, sekalipun dipoles dengan label “reformasi” dan “perjuangan demokrasi”.
Mudah-mudahan Allah Ta’ala menyelamatkan bangsa dan masyarakat kita dari kehancuran dan kebinasaan dan mudah-mudahan Allah Ta’ala mengokohkan hati, iman dan takwa kita supaya kita tetap di atas al-haq (kebenaran) di dalam mensikapi kondisi yang terjadi di negara kita.
Ya Allah,
perbaikilah keadaan pemerintah kami.
Berilah taufiq dan hidayah kepada mereka.
Anugerahkan kepada mereka kesehatan dan keadilan dalam memimpin kami
dan jadikanlah teman akrab mereka orang-orang yang shalih yang Engkau ridhai.
Amin ya mujibas sailin.
DAFTAR REFERENSI :
1. Adlwaul Bayan, Muhammad Amin Asy-Syanqithi, cet. Darul Kutub Al-Ilmiyyah, takhrij Muhammad Abdul Aziz al-Khalidi.
2. Al-Imamatul ‘Udhma, Abdullah bin Umar Ad-Dumaiji, cet. Dar Thayyibah.
3. Al-Mughni, Ibnu Qudamah Al-Maqdisi, cet. Darul Fikr.
4. Al-Mustadrak, Al-Hakim An-Naisaburi, cet. Darul Kutub Al-Ilmiyah, Dirasah wa tahqiq Musthafa Abdul Qadir ‘Atha.
5. Aridlatul Ahwadzi, Abu Bakar Ibnul Arabi Al-Maliki, cet. Dar Ihyaut Turats.
6. Al-Qur`anul Karim.
7. As-Sailul Jarar, Imam Asy-Syaukani, cet. Darul Kutub Al-Ilmiyyah, tahqiq Mahmud Ibrahim Zayid.
Oleh: Al-Ustadz M.Afifuddin
BAB I
PENDAHULUAN
“(Para ulama) sepakat bahwa seorang wanita tidak boleh menjadi pemimpin dan hakim (qadli) karena seorang imam (pemimpin) perlu keluar untuk mengurusi permasalahan jihad (perang) dan urusan kaum muslimin. Sementara seorang hakim harus keluar untuk memutuskan berbagai permasalahan. Sedangkan wanita adalah aurat, tidak boleh keluar (dari rumahnya). Wanita sering kali tidak mampu mengurusi banyak perkara karena kelemahannya dan dikarenakan wanita itu kurang (agama dan akalnya). Padahal kepemimpinan dan kehakiman itu adalah jabatan yang sempurna , tidak boleh dijabat kecuali oleh kaum lelaki yang sempurna….”
- Abu Bakar Ibnul ‘Arabi Al-Maliki dalam kitabnya Aridlatul Ahwadzi juz 9/119 setelah membawakan hadits ini menjelaskan:
“Hadits ini menunjukkan bahwa kepemimpinan itu adalah hak lelaki. Tidak ada celah bagi wanita dalam masalah ini menurut kesepakatan (ulama, pent).”
i
Tidak ada komentar:
Posting Komentar