Sabtu, 07 Januari 2012

Pengertian Siwak


BAB II
PEMBAHASAN
A.    HADITS DAN TERJEMAHNYA
َ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ
لَوْلاَ أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِي أَوْ عَلَى النَّاسِ لأَمَرْتُهُمْ بِالسِّوَاكِ مَعَ كُلِّ صَلاَةٍ
Dari Abu Hurairah Radiallahu ‘anhu berkata bahwasanya Nabishallallahu ‘alaihi wasallam bersabda : jikalau tidak memberatkan akan umatku, niscaya akan kuperintahkan untuk bersiwak pada setiap kali hendak melakukan shalat “.[1]
B.     Pengertian Siwak.
Siwak adalah nama untuk dahan atau akar pohon yang digunakan untuk bersiwak. Oleh karena itu semua dahan atau akar pohon apa saja boleh kita gunakan untuk bersiwak jika memenuhi persyaratannya, yaitu :
a.       Harus lembut, sehingga batang atau akar kayu yang keras tidak boleh digunakan untuk bersiwak karena bisa merusak gusi dan gigi.
b.       Bisa membersihkan dan berserat serta bersifat basah, sehingga akar atau batang yang tidak ada seratnya tidak bisa digunakan untuk bersiwak
c.        Seratnya tersebut tidak berjatuhan ketika digunakan untuk bersiwak sehingga bisa mengotori mulut.[2]

            Bolehkah bersiwak menggunakan sikat gigi modern dan pasta gigi ?. Sebagian ulama berpendapat tidaklah dikatakan bersiwak dengan sikat gigi adalah sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam karena siwak berbeda dengan sikat gigi. Siwak memiliki banyak kelebihan dibandingkan sikat gigi. Namun pendapat yang benar bahwasanya jika tidak terdapat akar atau dahan pohon untuk bersiwak maka boleh kita bersiwak dengan menggunakan sikat gigi biasa karena illah (sebab) disyariatkannya siwak adalah untuk membersihkan gigi. Bahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah besiwak dengan jarinya ketika berwudhu, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ali radhiallahu ‘anhu bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,
أدْخَلَ أضصْبِعَهُ عِنْدَ الْوُضُوْءِ وَ حَرَّكَهَا[3]
Beliau memasukkan jarinya (ke dalam mulutnya) ketika berwudlu dan menggerak-gerakkannya.
            Berkata Al-Hafizh dalam Talkhis setelah beliau membawakan hadits-hadits tentang siwak dengan jari yaitu dari hadits Anas radhiallahu ‘anhu dan Aisyah radhiallahu ’anha dan selain keduanya :”Dan hadits yang paling shohih tentang siwak dengan jari adalah hadits yang dikeluarkan oleh Imam Ahmad dalam musnadnya dari hadits Ali bin Abi Tolib radhiallahu ‘anhu”.)[4]
            Bersiwak dengan menggunakan akar atau dahan pohon adalah lebih baik dan lebih mengikuti sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam karena memiliki faedah yang banyak dan bisa digunakan setiap saat serta bisa dibawa kemana-mana. Namun anehnya banyak kaum muslimin yang merasa tidak senang jika melihat orang yang bersiwak dengan akar atau dahan pohon, padahal tidak diragukan lagi akan kesunnahannya. Mereka memandang orang yang bersiwak dengan akar kayu dengan pandangan sinis atau pandangan mengejek. Apakah mereka membenci sunnah yang sering dilakukan dan dicintai oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bahkan ketika akhir hayat beliau? Tidak cukup hanya dengan membenci, merekapun memberikan olok-olokan yang tidak layak sampai-sampai mereka mengatakan orang yang bersiwak adalah orang yang jorok.
C.     Cara bersiwak
Hendaklah bersiwak dengan menggosok bagian kanan gigi, setelah itu bagian yang kiri. Hal ini sesuai dengan hadits ‘Aisyah :
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ يُعْجِبُهُ التَّيَمُّنُ فِيْ تَنَعُّلِهِ وَتَرَجُّلِهِ وَطُهُوْرِهِ وَفِيْ شَاْنِهِ كُلِّهِ
Adalah menyenangkan Rosulullah untuk memulai dengan yang kanan ketika memakai sendal, menyisir rambut, ketika bersuci, dan dalam semua keadaan”.(Hadits riwayat Bukhori dan Muslim)
            Bersiwak termasuk dari bersuci, namun para ulama berselisih tentang mana yang lebih afdol, Apakah memegang siwak dengan menggunakan tangan kanan atau dengan tangan kiri ?
            Sebagian ulama berpendapat bahwa yang lebih afdol adalah dengan tangan kanan. Karena bersiwak adalah sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, dan sunnah adalah ketaatan kepada Allah subhanahu wa ta’ala, dan ketaatan kepada Allah subhanahu wa ta’ala tidak layak dilaksanakan dengan yang kiri.
            Sebagian ulama yang lain, diantaranya adalah  Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menganggap yang lebih afdol adalah dengan tangan kiri. Karena bersiwak adalah termasuk membersihkan kotoran sebagaimana beristinja’ dan beristijmar. Oleh karena itu lebih baik menggunakan tangan kiri.
            Sebagian ulama yang lainnya yaitu,  sebagian para ulama dari madzhab Maliki  memerinci, jika niat bersiwak untuk membersihkan kotoran maka yang lebih afdol menggunakan tangan kiri, namun jika niatnya hanya sekedar melaksanakan sunnah (walaupun gigi dalam keadaan bersih) seperti bersiwak ketika wudhu atau ketika akan sholat maka lebih baik menggunakan tangan kanan.
            Namun tentang masalah ini perkaranya luas (bebas) karena tidak adanya dalil yang jelas yang menunjukan akan hal ini.[5]
D.    Hukum Bersiwak Bagi Yang Berpuasa.
Tentang masalah ini juga terjadi khilaf diantara para ulama. Makruh menurut Syafi’iyah dan Hambaliah seseorang yang berpuasa bersiwak setelah waktu zawal (condongnya matahari) atau sejak masuk waktu sholat dhuhur hingga terbenam matahari. Dalil mereka :
Hadits Rosulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:
إِذَا صُمْتُمْ فَاسْتِكُوْا بِالْغَدَاةِ وَلاَ تَسْتَكُوْا بِالْعَشِيِّ
Jika kalian berpuasa maka bersiwaklah ketika pagi hari dan janganlah kalian bersiwak ketika sore hari” (setelah zawal).
                                                                                                  Hadits Rasulullah SAW
لَخُلُوْفُ فَمِ الصَّائِمِ أَطْيَبُ عِنْدَ اللهِ مِنْ رِيْحِ الْمِسكِ
Bau mulutnya orang yang berpuasa sungguh lebih baik di sisi Allah daripada bau misik”. (Hadits riwayat Bukhori dan Muslim)
Dan bau mulut tersebut biasanya tidaklah muncul kecuali pada sore hari. Dan bau tersebut muncul dari ketaatan kepada Allah subhanahu wa ta’ala, maka tidak selayaknya untuk dihilangkan sebagaimana darahnya para syuhada’ tidak boleh dihilangkan sehingga mereka dikuburkan bersama darah-darah mereka dan tanpa
 dimandikan
Dan tidak dimakruhkan sama sekali secara mutlak menurut Malikiah dan Hanafiah seseorang yang berpuasa untuk bersiwak kapan saja. Dan ini adalah pilihan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Berkata Imam Syaukani :”Yang benar disunnahkan orang yang berpuasa untuk bersiwak sejak awal siang hingga akhirnya (dari semenjak pagi sampai terbenam matahari), dan inilah pendapat jumhur para imam.”[6]
Dalilnya yaitu :
            Hadits-hadits yang menganjurkan untuk bersiwak itu bersifat umum baik bagi orang yang tidak berpuasa maupun yang berpuasa. Dan tidak ada satu dalilpun yang shohih yang mengkhususkan bahwa tidak dianjurkan bersiwak bagi orang yang berpuasa setelah dzuhur. Sedangkan hadits Ali radhiallahu ‘anhu yang diriwayatkan oleh Imam Daruqutni, hadits tersebut dhoi’f maka tidak bisa dijadikan hujjah.
            Syaikh Al-Albani berkata mengomentari hadits Ali yang dho’if ini :”…Dan jika engkau telah mengetahui lemahnya hadits ini maka tidak ada hujjah padanya (hadits ini tidak bisa dijadikan hujjah akan makruhnya bersiwak bagi orang yang berpuasa setelah zawal). Lagi pula hadits ini bertentangan dengan dalil-dalil yang umum tentang disyari’atkannya siwak yang berlaku bagi orang yang berpuasa pada setiap waktu. Dan betapa baik apa yang telah diriwayatkan oleh At-Thobroni :
عَنْ عَبْدِ الرَّحْمنِ بْنِ غَنِمٍ قَالَ : سَأَلْتُ مُعَاذَ بْنَ جَبَلٍ : آتَسَوَّكُ وَأَنَا صَائِمٌ ؟ قَالَ : نَعَمْ, قُلْتُ : أَيُّ النَّهَارِ ؟ قَالَ : غُدْوَةً أَوْ عَشِيَّةً. قُلْتُ : إِنَّ النَّاسَ يَكْرَهُوْنَ عَشِيَّةً وَ يَقُوْلُوْنَ إِنَّ رَسُلَ اللهِ قَالَ : لَخُلُوْفُ فَمِ الصَّائِمِ أَطْيَبُ عِنْدَ اللهِ مِنْ رِيْحِ الْمِسكِ ؟ قَالَ : سُبْحَانَ اللهِ لَقَدْ أَمَرَهُمْ بِالسِّوَاكِ, وَ مَا كَانَ بِالَّذِيْ يَأْمُرُهُمْ أَنْ يُنَتِّنُوْا أَفْوَاهَهُمْ عَمْدًا, مَا فِيْ ذَالِكَ مِنَ الْخَيْرِ شَيْءٌ بَلْ فِيْهِ شَرٌّ. قَالَ الحَافِظُ فِيْ التَّلْخِيْصِ (ص 113) : إِسْنَادُهُ جَيِّدٌ
Dari Abdurrahman bin gonim berkata : “Aku bertanya kepada Mu’adz bin Jabal radhiallahu ‘anhu: Apakah aku bersiwak padahal aku berpuasa?” Beliau menjawab :”Ya”, Aku berkata : “Di siang hari kapan?”, Beliau berkata :”Di waktu pagi dan sore”. Aku berkata :”Orang-orang membenci (bersiwak) pada sore hari. Dan mereka berkata bahwa Rosulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Bau mulutnya orang yang berpuasa sungguh lebih baik di sisi Allah daripada bau misik”. Beliau berkata سُبْحَانَ اللهِ Rosulullah sungguh telah memerintahkan mereka untuk bersiwak dan tidaklah layak (bagi mereka) atas apa yang telah mereka telah diperintahkan oleh Rosulullah, mereka sengaja membuat mulut mereka menjadi berbau busuk. Tidak ada pada perbuatan mereka itu kebaikan sedikitpun, bahkan kejelekan yang ada pada perbuatan mereka itu”.[7]
Berkata Syaikh Ali Bassam : “Tidak ada dalil pada hadits ini (yaitu hadits لَخُلُوْفُ فَمِ …. ). Sebab siwak tidaklah bisa menghilangkan bau yang timbul dari sumbernya yaitu dari lambung, berbeda dengan mulut yang bisa dibersihkan dengan siwak”.[8]








BAB III
PENUTUP
            SIMPULAN
            Siwak adalah nama untuk dahan atau akar pohon yang digunakan untuk bersiwak. Oleh karena itu semua dahan atau akar pohon apa saja boleh kita gunakan untuk bersiwak jika memenuhi persyaratannya, yaitu :
a.       Harus lembut, sehingga batang atau akar kayu yang keras tidak boleh digunakan untuk bersiwak karena bisa merusak gusi dan gigi.
b.       Bisa membersihkan dan berserat serta bersifat basah, sehingga akar atau batang yang tidak ada seratnya tidak bisa digunakan untuk bersiwak
c.        Seratnya tersebut tidak berjatuhan ketika digunakan untuk bersiwak sehingga bisa mengotori mulut.
            jika niat bersiwak untuk membersihkan kotoran maka yang lebih afdol menggunakan tangan kiri, namun jika niatnya hanya sekedar melaksanakan sunnah (walaupun gigi dalam keadaan bersih) seperti bersiwak ketika wudhu atau ketika akan sholat maka lebih baik menggunakan tangan kanan.
Makruh menurut Syafi’iyah dan Hambaliah seseorang yang berpuasa, bersiwak setelah waktu zawal (condongnya matahari) atau sejak masuk waktu sholat dhuhur hingga terbenam matahari.



DAFTAR PUSTAKA

 Doktor Wahbah Az-Zuhaili Fiqhul Islami wa Adillatuhu jilid 1,
Syaikh Al-Albani Irwaul Golil jilid 1,
M Nasiruddin al Albani, Ringkasan shahih al Bukhari, cet 1 pustaka as-sunnah:Jakarta
Syaikh Muhammad Utsaimin, Syarhul Mumti’ ‘ala Zadil Mustaqni’ jilid 1,
Syaikh Ali Bassam , Taisirul ‘Alam jilid 1.
Syaikh Ali Bassam, Taudihul Ahkam jilid 1.


[1] Ringkasan shahih al Bukhari, M Nasiruddin al Albani, cet 1 pustaka as-sunnah:Jakarta, hal 534.
[2] Syarhul Mumti’ ‘ala Zadil Mustaqni’ jilid 1, karya Syaikh Muhammad Utsaimin hal 118.
[3] Musnad Imam AHMAD , IMAM AHMAD, no 158
[4] Syarhul Mumti’ ‘ala Zadil Mustaqni’ jilid 1, Syaikh Muhammad Utsaimin,hal 119
[5] Ibid, hal 126-127
[6] Fiqhul Islami wa Adillatuhu jilid 1,Dr. Wahbah Az-Zuhaili, hal 302
[7] Irwaul Golil jilid 1, karya Syaikh Al-Albani, hal 106
[8] Taudihul Ahkam jilid 1, karya Syaikh Ali Bassam, hal 108

Tidak ada komentar:

Posting Komentar